Nama Ulama Nu Kh. Zaini Mun’Im Pp. Nurul Jadid Probolinggo
Ulama Pejuang dan Perintis Pertanian Tembakau Nama Probolinggo telah ada semenjak tahun 1359 M. (1281 Saka). Ketika Prabu Hayam Wuruk ...
https://kajianamalan.blogspot.com/2019/10/nama-ulama-nu-kh-zaini-munim-pp-nurul.html
Ulama Pejuang dan Perintis Pertanian Tembakau
Nama Probolinggo telah ada semenjak tahun 1359 M. (1281 Saka). Ketika Prabu Hayam Wuruk berhasil mempersatukan Nusantara di bawah kekuasaan Majapahit tahun 1357 M (1279 Saka) atas jerih payah Maha Patih Mada, rombongan pembesar kerajaan kemudian bermuhibah ke daerah ini dan enggan kembali. Sehingga ketika sang prabu sedang linggih (duduk) merenugi keindahan daerah ini, maka daerah ini dinamakan oleh masyarakat sebagai Prabu Linggih. Setelah mengalami proses perubahan ucapan, kata Prabu Linggih kemudian berkembang menjadi Probo Linggo (Probolinggo). Daerah ini merupakan salah satu penggalan dari Propinsi Jawa Timur yang terletak di kaki Gunung Semeru, Gunung Argopuro dan Pegunungan Tengger dengan luas sekitar 1.696,166 Km persegi.
Paiton yaitu adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Probolinggo, Provinsi Jawa Timur yang populer dengan kehadiran kompleks Pembangkit Listrik-nya. Kawasan ini berada pada garis pantai yang menghadap ke selat Madura. Kawasan ini juga merupakan daerah penghasil tembakau. Karenanya banyak sekali masyarakat Paiton yang bekerja sebagai petani, nelayan dan pedagang tukar barang ibarat tembakau (blandang).
Dengan letak geografis yang cukup menguntungkan dalam perdagangan laut, terutama nelayannya, maka banyak nelayan dari Pasuruan; Sampang, Madura; Muncar, Banyuwangi yang singgah di sini. Karenanya, lebih banyak didominasi penduduk di daerah ini yaitu etnis Madura. Sehingga dengan sendirinya, sebagaimana umumnya aksara masyarakat etnis madura, Paiton juga merupakan daerah masyarakat santri yang mempunyai banyak pesantren sebagai tempat mendidik generasi mudanya.
Salah satu di antara pesantren-pesantren daerah ini yang cukup populer yaitu Pesantren Nurul Jadid di desa Karanganyar, Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo, yang didirikan oleh KH Zaini Abdul Mun’im. Seorang ulama pejuang Republik kelahiran Madura yang tiba ke Paiton pada tanggal 10 Muharram 1948 M. Beliau singgah di Karanganyar dalam perjalanannya menuju ke Yogyakarta untuk bergabung dengan para pejuang Republik lainnya di sana.
Ketika sedang berada di Karanganyar, KH Zaini mendapat titipan (amanat) dari Allah berupa dua orang santri yang tiba kepada Beliau untuk berguru ilmu agama. Kedua santri ini berjulukan Syafi’udin berasal dari Gondosuli, Kotaanyar Probolinggo dan Saifudin dari Sidodadi Kecamatan Paiton, Probolinggo. Kedatangan dua santri tersebut oleh dia dianggap sebagai amanat Allah yang dilarang diabaikan. mulai ketika itulah KH Zaini menetap bersama kedua santrinya.
Namun tidak seberapa lama, dia ditangkap oleh Belanda dan dipenjarakan di LP Probolinggo. KH Zaini, pada waktu tersebut memang termasuk orang yang dicari-cari oleh Belanda semenjak dari pulau Madura. Belanda menganggap dia sebagai orang yang berbahaya, sebab berdasarkan Belanda, Beliau bisa mempengaruhi dan menggerakkan rakyat untuk melawan Belanda.
Setelah sekitar tiga bulan di penjara, kemudian dia dikembalikan lagi ke Karanganyar untuk mengasuh santri-santrinya yang sedang menunggu kedatangannya. Sejak ketika itulah, KH Zaini Abdul Mun’im membimbing santri-santrinya yang sudah mulai berdatangan dari aneka macam penjuru ibarat dari Madura, Situbondo, Malang, Bondowoso dan Probolinggo. Dengan banyaknya santri yang berdatangan, KH Zaini Mun’im kemudian merasa berkewajiban untuk mendidik mereka.
Merintis Dakwah di Tanah seberang
Memang kedatangan KH Zaini tidak secara eksklusif berniat untuk mendirikan sebuah pesantren. Namun atas saran dan dukungan dari aneka macam pihak, maka Beliau pun kemudian mempunyai tekad yang mantap untuk mendirikan sebuah pesantren yang dinakaman pesantren Nurul Jadid. Nama pesantren Nurul Jadid ini bermula pada ketika KH Zaini Mun’im didatangi seorang tamu, putra gurunya (KH Abdul Majid) yang berjulukan KH Baqir. Beliau mengharap kepada KH Zaini Mun’im untuk memberi nama pesantren yang diasuhnya dengan nama Nurul Jadid.
Memang kedatangan KH Zaini tidak secara eksklusif berniat untuk mendirikan sebuah pesantren. Namun atas saran dan dukungan dari aneka macam pihak, maka Beliau pun kemudian mempunyai tekad yang mantap untuk mendirikan sebuah pesantren yang dinakaman pesantren Nurul Jadid. Nama pesantren Nurul Jadid ini bermula pada ketika KH Zaini Mun’im didatangi seorang tamu, putra gurunya (KH Abdul Majid) yang berjulukan KH Baqir. Beliau mengharap kepada KH Zaini Mun’im untuk memberi nama pesantren yang diasuhnya dengan nama Nurul Jadid.
Nama Karanganyar bahu-membahu yaitu desa Tanjung, nama kuno yang diambil dari nama sebuah pohon besar di sana yang dijadikan sebagai sentra penempatan sesajen untuk memuja para roh yang melindungi masyarakat sekitar. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat di sana pada awalnya yaitu para penganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Menurut masyarakat setempat, keberadaan beberapa pohon-pohon besar ini dilarang ditebang. Pohon-pohon besar tersebut diyakini sebagai pelindung masyarakat dan harus diselenggarakan upacara ritual dalam bentuk pemberian sesajen, utamanya ketika ada suatu hajatan.
Sesajen itu disajikan kepada roh yang diyakini berada di sekitar pohon besar tersebut. Salah satu ritual itu dilakukakan ketika ketika isu terkini tanam tiba. Sebelum panen, masyarakat menggelar sesajenan dengan cara patungan. Beberapa anggota masyarakat meletakkan ayam di beberapa tempat yang dianggap sakral. Selain itu pada setiap tahunnya mereka mengadakan selamatan maritim dengan membuang kepala kerbau.
Dalam kehidupan sosial, masyarakat desa Tanjung sangat ndeso (jahiliyah). Mereka belum mengenal peradaban gres (Islam) yang lebih baik. Hal ini terlihat dengan maraknya perjudian, perampokan, pencurian dan tempat mangkal para pekerja seks komersial (PSK). Kehidupan hedonis mewarnai pemandangan sehari-hari dan moralitas jauh ditinggalkan. Pada ketika itu kesenangan dan kebahagiaan hanya terdapat pada perbuatan yang penuh dengan kemaksiatan dan kemungkaran.
Dalam kehidupan ekonomi, masyarakat desa Tanjung termasuk masyarakat yang sangat bergantung pada alam. Mereka menganggap bahwa kalau yang diberikan alam sudah tidak ada lagi yang bisa dimakan, maka mereka pindah ke tempat lain atau mencari makan di daerah lain. Tempat yang mereka pilih terutama di daerah pinggiran maritim (pantai) yang banyak pohon bakaunya untuk dimakan. Sedangkan lahan pertanian yang ada hanya dikuasai oleh beberapa orang.
Dengan demikian, desa Tanjung waktu itu merupakan desa “mati”, sebab disamping wilayahnya masih dipenuhi dengan hutan jati dan penuh dengan semak belukar yang tidak menghasilkan nilai ekonomis, juga sebab masyarakatnya yang tidak memperdulikan keadaan sekitarnya.
Dalam situasi dan kondisi sosial masyarakat desa Tanjung ibarat itulah, KH Zaini Mun’im –setelah mendapat restu dan perintah dari KH Syamsul Arifin, ayah KH As’ad Syamsul Arifin, Sukorejo– memutuskan untuk menetap dan bertempat tinggal bersama keluarganya di desa ini. Sebelum memutuskan untuk bertempat tinggal di desa Karanganyar, KH Zaini Mun’im mengajukan tempat-tempat lainnya dengan membawa teladan tanah pada KH Syamsul Arifin.
Daerah lain yang pernah diajukan oleh KH Zaini Mun’im selain tanah desa Karanganyar ini yaitu daerah Genggong Timur, dusun Kramat Kraksaan Timur, desa Curahsawo Probolinggo Timur, sebuah dusun di daerah kebun kelapa Jabung, dan dusun Sumberkerang. Setelah diseleksi teladan tanahnya oleh KH Syamsul Arifin, maka KH Zaini Mun’im diperintahkan untuk menetap di Desa Tanjung.
Berkat ketekunan KH Zaini dalam berdakwah, maka berangsur-angsur kehadiran pesantren Nurul Jadid sanggup mengubah kondisi yang demikian menjadi kondisi masyarakat dengan iklim religius tanpa mengalami penentangan yang frontal. Lambat laun, dengan kehadiran pesantren yang diasuh oleh KH Zaini dan dakwah Islam yang dipimpinnya dengan santun, nama desa Tanjung berkembang menjadi Karanganyar.
Memberdayakan Ekonomi Masyarakat
KH Zaini Abdul Mun’im yaitu seorang ulama yang mempunyai kepedulian terhadap kondisi kemiskinan dan keterbelakangan rakyat akhir penjajahan dan kekejaman pemerintah kolonial Belanda. Karena aksara KH Zaini yang mempunyai kepedulian tinggi terhadap kondisi sosial dan ekonomi masyarakatnya, maka pesantren yang didirikannya ini juga diformat untuk mempunyai kepeduliannya yang tinggi dan ikut membuat pemberdayaan insan dengan seutuhnya.
KH Zaini Abdul Mun’im yaitu seorang ulama yang mempunyai kepedulian terhadap kondisi kemiskinan dan keterbelakangan rakyat akhir penjajahan dan kekejaman pemerintah kolonial Belanda. Karena aksara KH Zaini yang mempunyai kepedulian tinggi terhadap kondisi sosial dan ekonomi masyarakatnya, maka pesantren yang didirikannya ini juga diformat untuk mempunyai kepeduliannya yang tinggi dan ikut membuat pemberdayaan insan dengan seutuhnya.
Sejak itulah KH Zaini Mun’im mulai dikenal di masyarakat sebab keuletan dan keberanian serta ketabahannya. Di samping itu, dua orang sahabat yang membantunya, yakni KH Munthaha dan KH Sufyan. Keduanya yaitu santri yang ditugaskan oleh KH Hasan Sepuh (Pengasuh PP. Zainul Hasan Genggong, Kraksaan) untuk membantu KH Zaini Mun’im sambil mengaji kepada beliau. memang sudah dikenal oleh masyarakat luas sebab sering memberi pinjaman kepada masyarakat, terutama keampuhan doa-doanya.
Setelah kesadaran beribadah masyarakat mulai tumbuh yang terbukti dengan dibangunnya beberapa mushalla oleh masyarakat setempat, KH Zaini Mun’im memperkenalkan flora gres kepada mereka, yakni tembakau yang bibitnya dibawa dari Madura. Awalnya, bibit tersebut sebagai percobaan di desa Karanganyar. Seiring perkembangan waktu, ternyata flora ini memang cocok dengan keadaan tanah di desa Karanganyar dan bisa mengangkat perekonomian masyarakatnya. Akhirnya, flora ini menjadi penghasilan pokok masyarakat Karanganyar dan bahkan masyarakat di luar Paiton.
Pada sisi lainnya, upaya yang dilakukukan KH Zaini Mun’im bersama santri-santrinya, juga cukup memperlihatkan hasil yang memuaskan. Terbukti dengan pupusnya kepercayaan mereka terhadap roh ghaib dan semakin rendahnya perkara pencurian, pemerkosaan, perjudian, serta lenyapnya gembong PSK. Dan seiring itu pula, tumbuhlah semangat yang menyala-nyala dalam mempertahankan kehidupan menuju keluarga sakinah (keluarga senang dunia-akhirat).
Dalam keadaan yang sudah mulai tenang dan nyaman, KH Zaini Mun’im dikejutkan oleh surat panggilan yang datangnya dari Menteri Agama (waktu itu yaitu KH Wahid Hasyim). Beliau diminta untuk menjadi penasehat jamaah haji Indonesia. Dan ajuan tersebut dia terima. Pada ketika itu jumlah santri yang sudah menetap di PP. Nurul Jadid sekitar 30 orang dan siserahkan di bawah asuhan KH Munthaha dan KH Sufyan. Dengan kharisma yang dimiliki, keduanya, dengan gampang membangun beberapa pondok yang terbuat dari bambu untuk tempat tinggal para santri pada waktu itu.
Sepulangnya KH Zaini Mun’im dari tanah suci dalam tugasnya sebagai penasehat jamaah haji Indonesia, terlihat beberapa gubuk sudah berdiri, maka tergeraklah hati dia untuk memikirkan masa depan para santri-santrinya. Mulailah KH Zaini Mun’im bersama santri-santrinya membabat hutan yang ada di sekitarnya sehingga berdirilah sebuah pesantren yang cukup besar hingga terlihat ibarat kini ini.
Secara pelan-pelan, kehidupan masyarakat mulai ada perubahan. Hal ini berkat ketekunan KH Zaini Mun’im bersama santri-santrinya. Mereka disadarkan dengan sentuhan agama. Akhirnya, timbul suatu kesadaran di kalangan masyarakat bahwa merekalah yang bahu-membahu mempunyai potensi yang sangat besar untuk bisa merubah cara hidupnya, terutama dari kehidupan sosial ekonomi.
Setelah perekonomian masyarakat mulai meningkat melalui pemanfaatan tanah pertanian, mulailah dimasukkan aliran dan nilai-nilai agama islam dalam kehidupan masyarakat Karanganyar. Hal lainnya yaitu pendalaman ilmu agama melalui sistem pendidikan non formal. Pola pendidikan dan training semacam itu dilakukan, baik kepada santri maupun kepada masyarakat sekitar pesantren. Pengajian kitab dilakukan dengan aneka macam metode. Mulai dari bandongan, sorogan dan takhassus. Sementara itu pemberian makna dalam pengajian kitab kuning memakai bahasa indonesia. Sehingga pesantren Nurul Jadid merupakan pesantren pertama yang memakai bahasa Indonesia dalam menunjukan dan menterjemahkan kitab-kitab yang dikajinya.
Upaya perubahan yang dilakukan KH Zaini Mun’im bersama santri-santrinya terhadap masyarakat Karanganyar tersebut, kemudian dibalas dengan perilaku simpati masyarakat berupa dukungan terhadap perkembangan pesantren Nurul Jadid. Di antaranya yaitu dukungan masyarakat Karanganyar terhadap berdirinya Lembaga Pendidikan mulai Taman Kanak-kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT).
Pesantren yang diasuh KH Zaini Mun’im ini nampaknya mendapat ratifikasi yang cukup luas di kalangan masyarakat. Terbukti dengan semakin banyaknya jumlah santri yang berdatangan dari segala penjuru tanah air, bahkan dari luar negeri (Singapura dan Malaysia). Hingga ketika ini pesantren Nurul Jadid telah melahirkan ribuan alumni.
Isyarat dan Menjual Tanah
Sebelum mendirikan pesantren di desa karanganyar ini, KH Zaini Mun’im sempat mempunyai keraguan, hingga tiba-tiba dia menemukan sarang lebah. Hal ini kata orang-orang waktu itu yaitu sebagai isyarat, kalau dia menetap dan mendirikan pondok pesantren di Desa Karanganyar (Tanjung), maka akan banyak santrinya.
Sebelum mendirikan pesantren di desa karanganyar ini, KH Zaini Mun’im sempat mempunyai keraguan, hingga tiba-tiba dia menemukan sarang lebah. Hal ini kata orang-orang waktu itu yaitu sebagai isyarat, kalau dia menetap dan mendirikan pondok pesantren di Desa Karanganyar (Tanjung), maka akan banyak santrinya.
Isyarat kedua tiba dari KH Hasan Sepuh Genggong. Suatu ketika ketika Kyai Hasan mendatangi suatu pengajian dan melewati desa Tanjung. Beliau berkata kepada kusir dokarnya, ”Di masa mendatang, kalau ada kiai atau ulama yang mau mendirikan pondok di daerah sini, maka pondok tersebut kelak akan menjadi pondok yang besar, dan santrinya kelak akan melebihi santri saya.” Sang kusir pun hanya manggut-manggut. Kemudian peryataan ini tersebar ke masyarakat sekitar dan hingga di indera pendengaran KHZaini.
Isyarat ketiga tiba dari alam setempat, kondisi tanahnya yang cantik dan suplai air yang mencukupi. Selain itu, desa Tanjung merupakan tempat yang jauh dari keramaian kota (Kraksaan), sehingga sangat cocok untuk mendirikan sebuah tempat pendidikan.
Setelah dirasa cocok, KH Zaini Mun’im segera membuat akad dengan H. Tajuddin salah seorang pemilik tanah yang luas di desa Tanjung. KH Zaini menukarkan dengan tanahnya yang ada di pulau Madura, dengan hutan jati dan belukar di tempat tersebut. Dengan berbekal satu batang lidi, Beliau berjalan menelusuri tanah yang sudah menjadi miliknya itu, sehingga semua binatang dan binatang buas serta membahayakan lari dan meninggalkan hutan jati itu menuju utara desa Grinting. Selama satu tahun lebih dia membabat hutan, mendirikan rumah, membangun surau kecil bersama dua orang santri pertamanya dan mengubah hutan serta belukar menjadi tegalan dan perkebunan.
Motto hidup KH Zaini yaitu mewakafkan diri untuk penyiaran dakwah Islam dan meninggikan agama Allah. Beliau yaitu seorang ulama pejuang yang kuat, sabar dan mempunyai kesetiaan tinggi kepada rekan-rekannya. Sehingga ketika berada dalam tahanan Belanda di Probolinggo, Beliau tetap bungkam meskipun dipaksa dengan aneka macam cara untuk membocorkan tempat-tempat pesembunyian rekan-rekan seperjuangannya yang lain, yang juga menjadi buronan Belanda. KH Zaini sangat berpengaruh memegang semboyan ”liberty or dead (merdeka atau mati)”. Sehingga tidak satu pun temen-teman seperjuangannya yang sanggup ditangkap Belanda sebab ratifikasi Beliau