Nama Ulama Nu Kh. Mukhtar Syafaat Blokagung Banyuwangi
Sejarah Pendiri Pondok Pesantren Darussalam Salah satu ulama terkemuka di Banyuwangi ini populer dengan sikap dan sikap yang menjadi...
https://kajianamalan.blogspot.com/2019/10/nama-ulama-nu-kh-mukhtar-syafaat.html
Sejarah Pendiri Pondok Pesantren Darussalam
Salah satu ulama terkemuka di Banyuwangi ini populer dengan sikap dan sikap yang menjadi panutan umat. Dialah KH Mukhtar Syafa’at, pendiri sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Darussalam, Blokagung, Jajag, Banyuwangi.
Suatu waktu, Kyai Dimyati (putra KH Ibrahim) mengalami jadzab (“nyleneh”). Ia mengusir Syafa’at dan kedua sahabatnya yang berjulukan Mawardi dan Keling. Ketiganya ialah santri yang dibencinya. Saat Kyai Syafa’at sedang mengajar, Kyai Dimyati (Syarif) melemparinya dengan maksud biar Syafa’at meninggalkan pondok. Akhirnya Syafa’at meningalkan Pondok Pesantren Jalen Genteng yang diikuti oleh salah satu santri yang berjulukan Muhyidin, santri asal Pacitan ke kediaman kakak perempuannya Uminatun yang terletak di Blokagung.
Perjuangan ia dimulai dari musholla milik kakaknya. Mula-mula ia mengajarkan Al Qur’an dan beberapa kitab dasar kepada para cowok masyarakat sekitar, dan diikuti oleh para santri yang dulu pernah mencar ilmu di Pondok Pesantren Jalen. Beberapa bulan berikutnya musholla tersebut tidak sanggup lagi menampung para santri yang ingin mencar ilmu kepadanya.
Melihat kondisi yang demikian, Kyai Syafa’at merasa prihatin sehingga berkeinginan untuk pindah ke luar kawasan Blokagung. Namun oleh Kyai Sholehan dihentikan dan bahkan kemudian dinikahkan dengan seorang gadis berjulukan Siti Maryam, putri dari bapak Karto Diwiryo Abdul Hadi.
Setelah menikah, ia pindah ke rumah mertuanya. Di tempat yang gres ini juga sudah ada mushollanya dengan ukuran 7 x 7 meter. Dalam kurun waktu satu tahun, jumlah santri yang mencar ilmu bertambah banyak sehingga musholla ini juga tidak cukup untuk menampung santri. Kemudian muncullah inspirasi untuk mendirikan sebuah masjid yang lebih besar untuk keperluan sholat dan belajar. Beliau memerintahkan para santri untuk mengumpulkan materi bangunan untuk keperluan pendirian masjid. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 15 Januari 1951. Dalam perkembangan selanjutnya tanggal inilah yang dijadikan sebagai peringatan berdirinya Pondok Pesantren Darussalam Blokagung. Dalam mendirikan pondok pesantren ini ia dibantu oleh temanya Kyai Muhyidin dan Kyai Mualim.
Itulah sekilas latar belakang KH Muktar Syafa’at Abdul Ghafur seorang ulama dan guru panutan umat. Ia lahir di dusun Sumontoro, Desa Ploso Lor, Kec Ploso Wetan, Kediri, 6 Maret 1919. Ia ialah putra keempat dari pasangan suami-isteri KH Abdul Ghafur dan Nyai Sangkep. Kalau dilihat dari silsilah keturunan, KH Mukhtar Syafa’at merupakan salah seorang keturunan pejuang dan ulama, dari silsilah ayahnya, KH Mukhtar Syafa’at putra dari Syafa’at bin Kyai Sobar Iman bin Sultan Diponegoro III (keturunan prajurit Pangeran Diponegoro) dan garis ibu, yaitu Nyai Sangkep binti Kyai Abdurrohman bin Kyai Abdullah (keturunan prajurit Untung Suropati).
Sejak usia kanak-kanak (4 tahun), Syafa’at telah memperlihatkan sikap dan sikap cinta terhadap ilmu pengetahuan dan berkemauan keras mendalami agama Islam. Setiap sore hari, ia tekun mengaji ke mushola terdekat yang ketika itu diasuh oleh Ustadz H. Ghofur. Dari sinilah ia mulai mencar ilmu membaca Al-Qur’an. Pada tahun 1925 (usia 6 tahun), Syafa’at kemudian mengaji ke Kyai Hasan Abdi selama 3 tahun di desa Blokagung, Tegalsari, Banyuwangi.
Selepas dikhitan pada tahun 1928, ia kemudian melanjutkan ke Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang yang ketika itu diasuh oleh KH. Hasjim Asy’ari. Di pesantren ini, ia menyerupai umumnya santri-santri lain mendalami ilmu-ilmu agama Islam menyerupai Ilmu Nahwu, Shorof, Fiqih, Tafsir Al-Qur’an dan Akhlaq Tasawuf.
Setelah 6 tahun menimba ilmu di Pondok Tebuireng, pada tahun 1936 ia diminta pulang oleh ayahnya biar saudaranya yang lain secara bergantian sanggup mengenyam pendidikan pesantren. Permintaan tersebut ditampiknya secara halus, alasannya ialah ia ingin mendalami dan menguasai ilmu-ilmu pesantren. Atas saran salah satu kakaknya, yakni Uminatun (Hj. Fatimah) pada tahun 1937 ia karenanya meneruskan studi ke Pondok Pesantren Minhajut Thulab, Sumber Beras, Muncar, Banyuwangi yang diasuh KH. Abdul Manan.
Selama menjadi santri di ponpes Minhajut Thulab, Syafa’at sering jatuh sakit. Setelah satu tahun, ia karenanya pindah lagi ke Ponpes Tasmirit Tholabah yang diasuh oleh KH Ibrahim. Di pondok ini selain belajar, ia juga dipercaya oleh KH Ibrahim untuk mengajar ke santri lain. Di Pondok ini juga, Syafa’at mulai mengkaji ilmu-ilmu tasawuf, menyerupai mencar ilmu kitab Ihya Ulumiddin karya Syeikh Imam Al-Ghozali.
Pemahaman ini tidak sebatas pelajaran teori saja, namun juga ia praktekan secara pribadi menyerupai ketika mandi, shalat fardhu, dan bekerjasama dengan lain jenis. Saat mandi, ia tidak pernah menanggalkan seluruh pakaiannya, dan tidak pernah melihat auratnya. Selain itu, selama di Ponpes Tasmirit Tholabah ia senantiasa shalat berjamaah di masjid. Padahal, ia termasuk kriteria “santri kasab”, yaitu santri yang mondok sambil bekerja kepada masyarakat sekitar.
Selama masih menuntut ilmu dan merasa belum waktunya menikah, Mukhtar Syafa’at senantiasa memelihara diri dan menjaga jarak dengan hubungan lain jenis. Suatu hari, ia oleh teman-teman santri dijodoh-jodohkan dengan seorang gadis masyarakat sekitar Pondok Tasmirit Tholabah. Apa reaksinya? Ia justru bersikap dan berperilaku layaknya orang absurd dengan cara menggunakan pakaian yang tidak wajar. Dengan demikian, gadis yang dijodoh-jodohkan tersebut beranggapan bahwa Syafa’at ialah benar-benar gila, dan mudah keberatan bila dijodohkan.
Pengembaraan Kyai Syafaat dalam menuntut ilmu ialah perjalanan panjang yang menuntut perjuangan, ketabahan hati dan pengorbanan. Ia seringkali dalam situasi dan kondisi yang memprihatinkan. Salah seorang sahabatnya ketika mencar ilmu di Ponpes Tasmirit Tholabah, KH Mu’allim Syarkowi menuturkan keadaannya, ”KH Syafa’at (Alm.) ketika mencar ilmu di Pondok Tasmirit Tholabah, Jalan Genteng Banyuwangi, sangatlah menderita. Ia sering jatuh sakit, terutama penyakit kudis (gudik). Disamping itu, ia tidak mendapat kiriman dari orang tuanya sehingga harus mencar ilmu sambil bekerja. Apabila trend tanam dan trend panen tiba, kami harus mendatangi petani untuk bekerja. Pagi-pagi benar kami harus sudah berangkat dan menjelang Dzuhur kami gres pulang. Sedangkan malam hari kami gunakan untuk mencar ilmu mengaji.”
Walaupun dalam kondisi yang memprihatinkan, Kyai Syafa’at tetap bersikeras untuk mendalami ilmu-ilmu agama Islam. Semasa masa pendudukan Jepang antara tahun 1942-1945, ia juga turut berperan aktif dalam bela negara dan merebut kemerdekaan RI. Oleh teman-teman seperjuangan, ia diangkat sebagai juru fatwa dan sumber inspirasi dalam penyerangan. Setiap akan melangkah, mereka meminta pertimbangan dahulu kepada Syafa’at.
Pada jaman pendudukan Jepang, Syafa’at tidak luput dari gerakan Dai Nippon Jepang yang berjulukan Hako Kotai, yaitu gerakan pemerasan terhadap harta, jiwa dan harta bangsa Indonesia demi kemenangan Perang Asia Timur Raya. dalam gerakan ini, Syafa’at diwajibkan mengikuti kerja paksa selama 7 hari di Tumpang Pitu (pesisir bahari pantai selatan teluk Grajagan dan Lampon). Ia dipekerjakan sebagai penggali parit pinjaman tentara Jepang.
Saat Belanda mendarat di pelabuhan Meneng, Sukowati, Banyuwangi Syafa’at tidak tinggal diam. Ia bergabung dalam Barisan Keamanan Rakyat yang dipimpin Kapten Sudarmin. Syafa’at juga turut aktif melaksanakan penyerbuan ke kamp-kamp tentara Belanda ketika perang gerilya dengan bergabung dalam Font Kayangan Alas Purwo dan Sukamande kecamatan Pesangaran yang dipimpin Kyai Muhammad dan Kyai Musaddad.
Lepas dari alam penjajahan Jepang dan Belanda, tepatnya pada tahun 1949 ia mulai merintis berdirinya Pesantren Darussalam. Setelah melalui usaha yang berat, pesantren Darussalam karenanya berkembang dari waktu ke waktu dan jumlah santrinya pun semakin bertambah banyak. Ini tak lepas dari sosok pendiri dan pengasuh pesantren KH Syafa’at yang menjadi sosok contoh sekaligus panutan umat.
Ia juga kerap dimintai pertolongan untuk melaksanakan pengobatan masyarakat. Dengan cara menulis lafadz ya’lamuuna, selepas itu pada abjad ‘Ain ditancapkan paku sambil dipukul palu. Sesekali KH Syafa’at menanyai pasien, apakah masih sakit atau tidak. Kalau masih sakit, dipukul lagi dan kalau makin parah maka pada abjad Mim juga akan ditancapkan paku dan dipukul lagi sebagaimana abjad ‘Ain. Konon, pengobatan tradisional ini banyak melegakan pasien. Selain itu, ia juga sering dimintai untuk mengobati dan menangkal gangguan santet dan sejenisnya. Sehingga rumahnya kerap dikunjungi para tamu dari aneka macam daerah. “Kalau kalian mengetahui ada tamu, maka beri tahu saya. Kalau saya tidak ada atau bepergian, silahkan tamu tersebut singgah ke rumah barang sejenak dan hormatilah mereka dengan baik. Kemudian, pintu rumah jangan ditutup sebelum jam 22.00,” demikian pesan KH. Syafa’at kepada keluarga dan para santri.
KH Syafaat juga dikenal sebagai pribadi yang penuh kesedehanaan, qana’ah, teguh menjaga muru’ah (harga diri) dan luhur budinya. Ia tidak pernah merasa rendah di hadapan orang-orang yang kaya, apalagi hingga merendahkan diri pada mereka dan ia tidak malas beribadah alasannya ialah kefakirannya. Bahkan kalau disedekahi harta, ia tidak mau menerima. Sekalipun diterima itu pun hanya sebatas yang diharapkan saja, tidak tamak untuk mengumpulkannya.
Bahkan Kyai Sya’aat dikenal punya semangat memberi dan memuaskan setiap orang yang tiba kepadanya. Pernah suatu ketika Kyai Syafa’at akan berangkat Haji, terlebih dahulu ia berziarah ke makam Sunan Ampel di Surabaya. Lepas dari komplek makam, ia bertemu dengan ratusan pengemis dan ia memperlihatkan shodaqah kepada para pengemis di sekitar makam hingga uangnya habis. Bahkan alasannya ialah sebagian pengemis itu tidak kebagian, ia kemudian menyuruh salah satu santrinya untuk mencarikan hutangan sejumlah empat juta rupiah kepada Masyhuri di Surabaya untuk disedekahkan kepada para pengemis yang tidak kebagian.
Tidak hanya itu, sering uang bisyaroh selepas mengisi pengajian di banyak tempat di berikan pribadi kepada orang-orang yang tidak dikenalnya, tanpa menghitung jumlah uang yang diterimanya. Selain gemar memberi akan harta dan ilmu, KH Syafa’at dikenal seorang ulama yang wira’i ( menjaga kehormatan).
Suatu ketika Kyai bepergian dengan ditemani oleh salah satu sopir, H Mudhofar, hingga di Karangdoro mobilnya rusak (mogok). Akhirnya kendaraan beroda empat dibenahi dan oleh H. Mudhofar diambilkan kerikil bata untuk mengganjal mobil, di salah satu perumahan penduduk. Setelah selesai, kendaraan beroda empat berjalan dan KH Syafa’at bertanya, ”Batu bata itu milik siapa? Kalau punya orang, kembalikan!” Akhirnya kendaraan beroda empat berhenti dan kerikil bata tersebut oleh H. Mudhofar dikembalikan ke tempatnya semula.
Selain aktif dalam aktivitas kemasyarakatan, KH. Syafa’at juga aktif dalam Jami’ah Keagamaan Nahdlatul Ulama. Tercatat, ia pernah menjadi pengurus dari tingkat ranting hingga cabang. Jabatan terakhirnya ialah sebagai salah satu Musytasyar wilayah Banyuwangi, Jawa Timur.
KH Syafa’at pada hari Jumat malam, 1 Februari 1991 (17 Rajab 1411 H) dengan meninggalkan 14 anak (10 putra, 4 putri) dari perkawinannya dengan Nyai Siti Maryam dan 7 anak (4 putra, 3 putri) dari perkawinannya dengan Nyai Hj Musyarofah. Jenazah sesudah disemayamkan di rumah sedih dan dishalati oleh mu’aziyin hingga 17 kali kemudian dimakamkan komplek makam keluarga, sekitar 100 meter arah utara dari Pesantren Darussalam, Blokagung, Banyuwangi