Nama Ulama Nu Kh. Ahmad Qusyairi Shiddiq
Kisah Lailatul Qadar Kiai Ahmad Qusyairi sesungguhnya tiba dari jauh. Beliau lahir di Lasem (Sumbergirang) Sabtu Pon 11 Sya’ba...
https://kajianamalan.blogspot.com/2019/10/nama-ulama-nu-kh-ahmad-qusyairi-shiddiq.html
Kisah Lailatul Qadar
Kiai Ahmad Qusyairi sesungguhnya tiba dari jauh. Beliau lahir di Lasem (Sumbergirang) Sabtu Pon 11 Sya’ban 1311 H atau 17 Pebruari 1894 M. Beliau ialah putra keempat dari 23 orang bersaudara. Ayahanda beliau, KH. Muhammad Shiddiq, dikaruniai 23 anak dari tiga orang istri: Nyai Maimunah (Masmunah?), Nyai Zaqiyah (Siti Maryam?) dan Nyai Siti Mardhiyah. Dengan Nyai Maimunah dia dianugerahi tujuh anak, dengan Nyai Zaqiyah dikaruniai sembilan anak dan dengan Nyai Siti Mardhiyah tujuh anak. Kiai Achmad Qusyairi ialah putra dia dari istri pertama.
Mengingat keterbatasan sumber, tak banyak yang bisa diungkap dari masa kecil Kiai Achmad. Tetapi yang pasti, semenjak usia dini dia sudah dikirim ke pesantren oleh ayahandanya. Beliau berpindah dari satu pondok ke pondok lainnya. Antara lain, pernah menimba ilmu di Langitan (Tuban), di Kajen (Pati) semasih diasuh Kiai Khozin, dan Semarang (Kiai Umar). Tetapi yang paling fenomenal ialah berguru dia di Bangkalan, yakni di pondok Syaikhuna KH. Kholil.
Kiai Kholil ialah ulama besar. Seorang waliyullah. Ada yang menyebut, dia ialah wali kutub. Banyak santri dia yang menjadi wali dan kiai besar. Kepada beliaulah ayahanda KH. Muhammad Shiddiq menimba ilmu dan amaliyah. Kemudian, sesudah berkeluarga, dia mengirimkan putra-putranya di sana, termasuk Kiai Achmad Qusyairi. Kelak, Kiai Achmad Qusyairi juga menitipkan putra sulung beliau, KH. Ridlwan, untuk mengais ilmu dari barokah dari sang wali kutub.
Menurut KH. Hasan Abdillah Glenmore, Kiai Achmad Qusyairi nyantri kepada Kiai Kholil dikala masih dewasa (pasca baligh). Suatu kali, di bulan Ramadhan, Kiai Kholil menyuruh para santri supaya tidak tidur di malam hari. Katanya, “Ayo cari Lailatul Qadar”. Maksudnya, mereka disuruh beribadah malam supaya mendapat barokah dari malam yang sangat mulia itu.
Kiai Achmad Qusyairi termasuk di antara santri yang juga mencari Lailatul Qadar. Tetapi dia salah sangka. Beliau mengira, Lailatul Qadar itu benda kongkret. Malam itu dia mencarinya ke sana kemari namun hasilnya, tentu saja, nihil. Pulang ke pesantren dia dilanda kecapekan, lantas tertidur pulas.
Pada dini hari, Kiai Kholil berkeliling pesantren. Tujuanya, untuk mengawasi para santri. Tiba-tiba dia melihat seberkas cahaya pada badan kecil seorang santri. Beliau mendekati sosok kecil itu lantas mengikat ujung sarungnya (dibikin simpul mati), sebagai tanda. Paginya, seusai salat subuh, dia menciptakan pengumuman. “Ayo, siapa yang di sarungnya ada tali simpul?” Tak ada santri yang menjawab. Si empunya simpul pun tak menjawab lantaran takut. Dia merasa bersalah lantaran tidur pulas tadi malam, padahal disuruh begadang. “Kalau tak ada yang mau mengaku, ya sudah!” kata Kiai Kholil dengan nada keras.
Kiai Kholil ialah ulama besar. Seorang waliyullah. Ada yang menyebut, dia ialah wali kutub. Banyak santri dia yang menjadi wali dan kiai besar. Kepada beliaulah ayahanda KH. Muhammad Shiddiq menimba ilmu dan amaliyah. Kemudian, sesudah berkeluarga, dia mengirimkan putra-putranya di sana, termasuk Kiai Achmad Qusyairi. Kelak, Kiai Achmad Qusyairi juga menitipkan putra sulung beliau, KH. Ridlwan, untuk mengais ilmu dari barokah dari sang wali kutub.
Menurut KH. Hasan Abdillah Glenmore, Kiai Achmad Qusyairi nyantri kepada Kiai Kholil dikala masih dewasa (pasca baligh). Suatu kali, di bulan Ramadhan, Kiai Kholil menyuruh para santri supaya tidak tidur di malam hari. Katanya, “Ayo cari Lailatul Qadar”. Maksudnya, mereka disuruh beribadah malam supaya mendapat barokah dari malam yang sangat mulia itu.
Kiai Achmad Qusyairi termasuk di antara santri yang juga mencari Lailatul Qadar. Tetapi dia salah sangka. Beliau mengira, Lailatul Qadar itu benda kongkret. Malam itu dia mencarinya ke sana kemari namun hasilnya, tentu saja, nihil. Pulang ke pesantren dia dilanda kecapekan, lantas tertidur pulas.
Pada dini hari, Kiai Kholil berkeliling pesantren. Tujuanya, untuk mengawasi para santri. Tiba-tiba dia melihat seberkas cahaya pada badan kecil seorang santri. Beliau mendekati sosok kecil itu lantas mengikat ujung sarungnya (dibikin simpul mati), sebagai tanda. Paginya, seusai salat subuh, dia menciptakan pengumuman. “Ayo, siapa yang di sarungnya ada tali simpul?” Tak ada santri yang menjawab. Si empunya simpul pun tak menjawab lantaran takut. Dia merasa bersalah lantaran tidur pulas tadi malam, padahal disuruh begadang. “Kalau tak ada yang mau mengaku, ya sudah!” kata Kiai Kholil dengan nada keras.
Dengan takut-takut seorang santri yang masih kecil mengacungkan jarinya. “Saya,” katanya. Ternyata dia santri berjulukan Achmad Qusyairi. Marahkah Kiai Kholil, yang dikenal berperangai keras itu? Tidak. Beliau justru berkata, “Mulai kini para santri tak usah mengaji padaku. Cukup kepada Achmad Qusyairi.” Kita tidak tahu persis (para sumber kita juga tidak tahu) apakah sesudah insiden itu dia pribadi pulang. Tetapi kami menduga dia tidak pribadi pulang. Beliau masih terus menimba ilmu hingga beberapa tahun.
Menikah
Ketika Kiai Achmad masih kecil, ayahanda dia berpindah ke Jember. Konon, kepindahan itu dikarenakan arahan dari Rasulullah s.a.w. melalui mimpi. Mimpi itu mengisyaratkan supaya dia berpindah ke timur untuk berdakwah. Jember pun menjadi pilihan lantaran itulah yang diperintahkan oleh KH. Kholil Bangkalan, guru beliau. “Kiai Shiddiq jembar,” katanya dikala santrinya itu singgah dalam perjalanan ke timur.
Kebetulan Jember dikala itu merupakan kawasan gersang dari sisi dakwah. Penduduknya masih banyak yang tidak beragama atau beragama Hindu-Budha. (baca: “Biografi Mbah Shiddiq” oleh Afton Ilman) Di kota ini ada seorang saudagar kaya berjulukan H. Alwi. Dia mempunyai lima buah pabrik selep beras dan 35 rumah besar. Dia sangat erat dengan Kiai Shiddiq. Bahkan, tanah tempat berdirinya pesantren serta rumah Kiai Shiddiq di Talangsari ialah hasil waqaf dari H. Alwi.
H. Alwi rupanya menyimpan kesan mendalam kepada cowok Achmad Qusyairi, putra kiai yang dikaguminya itu. Begitu terkesannya sehingga dia menuruti apa yang dikatakan oleh cowok itu. Misalnya, menyerupai dituturkan Kiai Hasan Abdillah, cowok Achmad Qusyairi menyarankan kepada H. Alwi supaya mengeluarkan zakat mal untuk hartanya yang berlimpah itu. “Ini harus dizakati” katanya. “Baik” jawab si saudagar.
H. Alwi tidak hanya mengamini, tapi juga menyerahkan soal perhitungan zakatnya kepada Kiai Achmad, dan Kiai Achmad menjalankan kiprah itu dengan baik setiap tahunnya.
Alhasil, keduanya sudah menyerupai anggota keluarga. Seperti bapak dan anak. Guna lebih melanggengkan hubungan keluarga tersebut, H. Alwi meminang cowok Achmad Qusyairi untuk menjadi menantunya. Tetapi insan hanya bisa berencana, dan Allah yang menentukan. Pemuda Achmad Qusyairi urung jadi menantu H. Alwi lantaran dijodohkan ayahandanya dengan putri KH. Yasin bin Rois Pasuruan. Bagaimana ceritanya?
Begini. Kiai Shiddiq, abah beliau, telah menjalin hubungan pertemanan dengan Habib Alwi bin Segaf As-Segaf Pasuruan melalui hubungan dagang. Keduanya memang sama-sama pedagang, tapi juga sama-sama wali. Dari Habib Alwi, Kiai Shiddiq mengenal Kiai Yasin bin Rois, seorang kiai besar pengasuh Pesantren Salafiyah yang terletak di desa Kebonsari, Pasuruan. Suatu kali, ketika Kiai Shiddiq bersama cowok Achmad Qusyairi mengunjungi Habib Alwi, sang Habib menyampaikan untuk menjodohkan putra Kiai Shiddiq itu dengan putri Kiai Yasin. Kiai Shiddiq menyatakan setuju. Kiai Yasin juga sepakat. Singkat cerita, cowok Achmad Qusyairi dinikahkan dengan Fatmah binti Kiai Yasin bin Rais.
Akan halnya H. Alwi, tentu saja dia merasa kaget. Dia kemudian menuntut kepada Kiai Achmad supaya mencarikan ganti beliau. Kiai Achmad menyampaikan iparnya, Kiai Muhammad bin Yasin. H. Alwi merasa cocok, begitu pula di pihak pria. Maka dilangsungkanlah janji nikah antara Kiai Muhammad dan putri H. Alwi.
Malu
Kiai Achmad menikah dalam usia 19-20 tahun. Beliau merasa aib lantaran istri beliau, yang usianya lebih renta satu tahun, sudah hafal seluruh Al-Quran. Selama ini Kiai Achmad memang tidak pernah menghafalkan Al-Quran. Waktunya habis untuk menimba dan menimba ilmu.
Rasa aib tadi melecut beliau. Setahun sesudah pernikahan, dia berangkat ke kota suci Mekah guna menghafalkan Al-Quran di sana. Alhamdulillah, dalam waktu tiga bulan dia berhasil menghafalkan 30 juz al-Quran. Pulang ke Indonesia, beberapa kali dia kembali ke Mekah untuk beribadah haji dan menimba ilmu. Suatu kali, dia sedang berada di Mekah. Tiba-tiba Perang Dunia I meletus. Beliau tidak bisa pulang. Apa boleh buat. Beliau pun bermukim di tanah suci itu selama lima tahun. Di sana dia menjalin hubungan dengan Syekh. Lima tahun kemudian, sepulang dari sana, dia menjadi badal (wakil atau agen) dari syekh tersebut.
Syekh ialah julukan bagi orang-orang yang bertindak sebagai host atau rumah bagi para jamaah haji. Mereka mengorganisasikan perjalanan ibadah haji para jamaah selama di tanah suci, semenjak kedatangan hingga kepulangan mereka serta menyediakan fasilitas dan banyak sekali fasilitas yang diperlukan. Para syekh itu mempunyai wakil atau distributor di Indonesia, yang disebut Badal Syekh. Peran Badal Syekh ini menyerupai dengan yang dijalankan KBIH (Kelompok Bimbingan Ibadah Haji) sekarang: dari mencari jamaah, mendaftarkan mereka di Jakarta (segala dokumen haji kala itu harus diurus di kantor sentra di ibukota), dan mengurus keberangkatan mereka.
Lebih kurang, itulah pula yang dilakukan oleh Kiai Achmad. Para calon jamaah haji mendaftar kepada beliau, kemudian dia mengurus segala keperluan mereka dan mengantar mereka hingga ke kapal. Para calon jamaah haji itu, yang tiba dari banyak sekali desa di kota dan kabupaten Pasuruan, berkumpul di Pesantren Salafiyah. Dari sana mereka naik dokar ke Pelabuhan Pasuruan. Karena kapal yang mengangkut mereka tidak bisa sandar di tepian, maka dari pelabuhan mereka diangkut dengan bahtera kecil ke tengah laut.
Kiai Achmad biasanya ikut naik pula ke bahtera kecil itu, guna memastikan tiada masalah pada para calon jamaah tersebut: entah itu soal tiket ataupun soal banyak sekali dokumen perjalanan. Terkadang, berdasarkan Kiai Hasan Abdillah, dia tidak hanya mengantar hingga ke kapal, tapi juga hingga ke Mekah. Pasalnya, kapten kapal yang terkesan oleh penampilan dan bahasa Belanda beliau, kemudian mengajak dia untuk ikut ke Jeddah, tanpa paspor.
Di samping menjadi Badal Syekh, dia juga membuka usaha di bidang peralatan dokar. Tepatnya, dia menjual sparepart dan peralatan dokar. Adapun tokonya terletak di selatan Masjid Agung Pasuruan, dan diberi nama “Pasoeroeansche Dokar Handel”.
Beliau juga mengajar. Cukup banyak pengajian yang dia gelar, baik di lingkungan pondok Pesantren Salafiyah maupun di luarnya. Entah itu di kota Pasuruan maupun di luar kota, menyerupai di desa Winongan (Kabupaten Pasuruan) dan kota Gresik.
Selama di Pasuruan dia tinggal di lingkungan pondok pesantren Salafiyah. Tepatnya di sayap kiri rumah mertua beliau, Kiai Yasin. Adalah Kiai Yasin yang menyuruh dia supaya membangun “sayap” tersebut, yang melekat di rumah sang mertua. Kemudian pada dasawarsa 1930-an, dia membangun rumah di sebelah kanan rumah Kiai Yasin, yakni rumah yang kelak ditempati oleh menantu beliau, KH. Hamid.
Menurut KH. Hasan Abdillah, Kiai Achmad merupakan menantu yang disayang oleh Kiai Yasin. Maklum, antara keduanya ada kesamaan prinsip. Beliau tidak hanya disuruh membangun rumah yang melekat pada rumah Kiai Yasin, tapi juga dipercaya untuk mengajar di pondok. Peran sebagai pengajar dan pengurus pondok terus dia pegang sepeninggal mertua dia dan tongkat estafeta kepengasuhan pondok berpindah ke KH. Muhammad bin Yasin, putra Kiai Yasin.
Tetapi dia tidak hanya mengajar di lingkungan pesantren. Beliau juga mengajar di tempat-tempat lain, menyerupai di Winongan (Kabupaten Pasuruan), Gresik, Madura dan lain-lain. Belakangan, menyerupai dituturkan KH. Abdur Rohman Ahmad, dia tidak mengajar lagi di Gresik, tetapi orang-orang Gresik yang tiba ke Pesantren Salafiyah Pasuruan untuk mengikuti pengajian beliau.
Dicalonkan Kaprikornus Bupati
Sekitar tahun 1945-1946 dia berpindah tempat tinggal: dari Pasuruan ke Kabupaten Jember. Tepatnya di Jatian, sebuah desa pedalaman, sekitar 15 km, sebelah timur kota Jember. Mengapa berhijrah?
Ada dua versi. Versi pertama diungkapkan oleh Kiai Hasan Abdillah. Katanya, Kiai Achmad berhijrah lantaran enggan dicalonkan menjadi bupati Pasuruan. Kala itu para kiai se-Pasuruan yang berkumpul di Masjid Agung Pasuruan sepakat menunjuk Kiai Achmad sebagai calon bupati.
Versi kedua diungkapkan oleh Ibu Nyai Hajjah Zainab, istri Kiai Achmad. Kepada al-faqir Nyai Zainab mengutip kata-kata Kiai Achmad bahwa dia berpindah ke Jatian lantaran dikejar-kejar oleh Belanda. “Jatian itu kan desa pelosok, jadi cocok untuk tempat sembunyi,” ujar Nyai Zainab.
Tentang pencalonan Kiai Achmad sebagai bupati, ada pula kesaksian dari KH. Abdur Rahman Ahmad. “Aku juga mendengar waktu itu Abah dicalonkan di masjid lantaran Abah masih keturunan Mbah Surga Surgi,” ucapnya.
Kiai Abdur Rahman dikala itu masih menjadi seorang cowok tanggung berusia sekitar 14-15 tahun. Kalau Kiai Abdur Rahman yang masih muda mendengar kabar tersebut, berarti kabar itu sudah menjadi pembicaraan umum. Dan lantaran sudah menjadi konsumsi umum, sangat masuk akal bila ada pemanis bumbu-bumbu, menyerupai bumbu bahwa Kiai Achmad ialah keturunan Mbah Surga Surgi (trah ningrat yang menurunkan para bupati Pasuruan), padahal tidak.
Sayang, alfaqir tidak mendapat data tertulis mengenai pencalonan tadi. Pertama, lantaran pencalonan itu merupakan keputusan ulama, bukan sesuatu yang diputuskan instansi formal. Kami menduga, para ulama kala itu belum mempunyai tradisi mengarsipkan hasil-hasil rapat mereka. Kedua, kondisi dikala itu begitu kacau, sehingga kalaupun ada, dokumen itu bisa jadi hilang.
Toh sejarawan Pasuruan dari P3GI, yang juga penulis buku “Hari Kaprikornus Kota Pasuruan”, Untung Sutjahjo, tidak menepis kemungkinan adanya rapat demikian. Berikut ini kutipan kata-katanya kepada alfaqir:
“Adanya rapat untuk mengajukan seorang calon adipati sangat mungkin terjadi. Lebih-lebih, hubungan umaro-ulama sangat erat kala itu. Masjidnya ialah masjid Kiai Kanjeng. Masjid Agung ialah tempat membahas pula masalah pemerintahan tertentu. Tetapi saya menduga, rapat itu diadakan secara sembunyi-sembunyi. Sebab, kondisi Pasuruan (dan di kota-kota lain) pada 1945 kacau sekali. Tidak aman. Belanda, pasca-terusirnya Jepang, sangat ketat mengawasi setiap gerakan atau perkumpulan. Karena itu, rapat mungkin diadakan sembunyi-sembunyi. Dan lantaran diadakan secara sembunyi-sembunyi, sangat boleh jadi dokumennya tidak ada. Pencalonan itu mungkin saja menciptakan murka Belanda. Jadi, sangat pantas kalau KH. Ahmad Qusyairi dicari oleh Belanda.” (Dalam catatan sejarah, Adipati R. Rumenggung Ario memerintah mulai 1936 hingga 1945.
Selanjutnya, tampuk kepemimpinan berpindah kepada Adipati R. Soedjono. Berarti pada 1945 memang terjadi suksesi kepemimpinan, entah lantaran desakan rakyat ataukah lantaran masa baktinya telah berakhir. Tetapi kalau kita perhatikan, masa bakti para adipati tidak sama. Kepemimpinan R. Tumenggun, misalnya, berlangsung selama 9 tahun, sedang adipati sebelumnya, R.A.A. Harsono, hanya memerintah selama tiga tahun.) Mengenai seberapa kacaunya Pasuruan (dan kota-kota lain) pada dikala itu, hal itu bisa kita simak pada penuturan Soetjipto, seorang veteran perang yang tinggal di Jalan Mawar Pasuruan. Dia lahir tanggal 2 Pebruari 1925:
“Saya dulu sekolah di HIS Bangilan, dekat alun-alun kota Pasuruan. Lalu meneruskan di MILO Probolinggo. Karena di Pasuruan tidak ada MILO. Baru lima bulan sekolah, pecah perang.
Pada dikala proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, kita tidak tahu menahu. Baru sesudah itu ada pemberitahuan. Lalu pemerintah membentuk tentara. Saya ikut. Saya menjadi kepala. Pada dikala itu, khususnya ketika Belanda hendak mendarat di Surabaya, orang-orang tergerak untuk menjadi tentara. Terbentuklah pasukan-pasukan. Ada tentara reguler (TNI). Ada pula tentara nonreguler. Tentara kedua ini terbentuk begitu saja. Tidak teratur. Saya pernah mendengar (mungkin salah mungkin benar), KH. Ahmad Qusyairi memimpin pasukan. Namun, jangan bayangkan pasukan itu ada barisannya. Itu tidak teratur. Kalau ada serangan, pemimpin itulah yang mengkomando. Tetapi saya tidak pernah bertemu dengan beliau. Wong saya golongannya lain. (Beliau golongan santri, Soetjipto bukan santri, sehingga bukan satu komunitas.) Orang-orang berangkat sendiri-sendiri ke Surabaya.
Tanpa komando, tanpa koordinasi. Dari Pasuruan, Jember, Probolinggo, Malang, Mojokerto dan lain-lain. Banyak dari mereka yang mati. Mereka ialah orang-orang yang berani mati. Dalam pasukan itu ada dua macam. Orang kurang pandai tapi berani nyerang dengan segala risiko. Ada yang pintar, tidak berani nyerang. Mereka menggunakan perhitungan. Pada dikala Jepang datang, orang Belanda sudah habis di pasuruan. Gemente dikuasai. Pabrik-pabrik gula dikuasai semua oleh orang Jawa. Tapi mereka tidak tahu caranya memenej yang benar.
Pada pascaproklamasi, orang-orang berangkat ke Surabaya. Yakni untuk membendung Belanda yang hendak kembali. Terus terang, kita kalah terus. Kita terus mundur. Kita terdesak ke Sidoarjo. Lalu terdesak lagi ke Porong. Lalu ke Pandaan. Terjadi pertempuran hebat. Kita terus mundur, hingga Belanda berhasil masuk ke Malang. Kami pernah ke Purwodadi untuk menyerang Belanda, dan dengan tujuan memutus kabel telpon Malang-Surabaya. Tapi keburu diserang lewat udara. Dibombardir pesawat. Rupanya ada mata-mata.
Pada akibatnya Pasuruan juga dikuasai Belanda. Banyak Belanda di sini. Pasuruan dikuasai oleh KNIL. Sebenarnya juga banyak cecunguk-cecunguk Belanda. Mereka orang Jawa tapi hatinya Belanda. Mereka merasa lezat di bawah Belanda.
Nah, kalau pada siang hari Pasuruan dikuasai KNIL, malam hari dikuasai pribumi. Tentara gerilya. Hampir semua orang bergerilya. Ada Belanda lewat diserang, dibunuh. Ada berandal Belanda, dibunuh. Pernah ada Pak Carik, hendak membeli kambing. Ketemu teman-teman, dia digeledah, ditemukan korek api dengan bendera merah-putih-hijau, pribadi dia dibunuh. Ada Pak Lurah, punya kambing 12 ekor. Tiga ekor diambil, disembelih, kepalanya dikasihkan ke saya. Kondisinya memang kacau.
Nah, pada malam hari itu kita bergerilya. Kita serang kantor polisi. Sebab, banyak polisi yang hatinya Belanda, meski orang Jawa. Kita serang kantor-kantor lain. Bahkan juga kepala desa atau pegawanegeri lain yang dianggap antek Belanda. Terkadang kita membakar.
Kalau Kiai Ahmad Qusyairi dicalonkan menjadi bupati, itu bisa saja terjadi. Sebab, waktu itu kita memang hendak menguasai semua. Kita tidak bisa berperang. Senjata kita juga apa adanya. Ada pula senjata api, tapi tidak banyak. Kita bikin pasukan maling untuk mencuri senjata milik Belanda.”
Yang hendak dikatakan ialah, pada dikala itu terjadi kekacauan yang luar biasa. Di samping itu, ketika orang-orang mengetahui adanya proklamasi kemerdekaan, dan mereka melihat orang-orang Jepang berkemas, bukan tidak mungkin Pasuruan juga mengalami eforia sebagaimana yang meluas di banyak sekali daerah. Yakni eforia yang, sebagaimana kita saksikan pada dikala munculnya fajar reformasi dulu, memicu suatu semangat untuk menjebol segala yang ada dan menggantinya dengan yang gres sama sekali. Seperti dilaporkan di sejumlah kawasan (seperti di Tegal), orang-orang beramai-ramai mendongkel penguasa usang yang dianggap berbau penjajah (meski dia sendiri orang pribumi) dan menggantinya dengan orang baru. Pasuruan mungkin saja mengalami hal serupa.
Pertanyaannya, mengapa Kiai Achmad Qusyairi? Tampaknya dia dipandang mempunyai dua macam kompetensi sekaligus: jago ilmu agama dan sekaligus mumpuni di bidang umum. Paling tidak, mereka menilainya dari kemampuan dia berkomunikasi dengan bahasa Belanda dan Jepang. Beliau juga cukup fasih berbahasa Indonesia. Beliau sudah erat dengan cara-cara yang cukup modern dipandang dari ukuran dikala itu. Misalnya, berkomunikasi mulut dan tulis (lewat surat) dengan kapten kapal (yang semuanya orang Belanda tulen), para pejabat pemerintahan kolonial dan lain-lain. Beliau juga piawai menyusun untaian kata-kata indah dalam bentuk buku, risalah (karangan singkat) dan surat permintaan -- termasuk dalam bahasa Indonesia. Bahkan, di zaman “sedini” itu, dia sudah mempunyai kartu pos khusus dengan kop usaha atau toko peralatan dokar beliau. Tak kalah pentingnya ialah, dia sudah biasa mengurus pemberangkatan haji, yang tidak hanya memerlukan keahlian khusus di bidang manajemen dan administrasi, tetapi juga juga mobilitas yang tinggi serta kemampuan lobi serta kedekatan dengan pejabat-pejabat pusat. Makanya, tidak heran jikalau dia pernah diminta oleh Jepang untuk menjadi penghulu, tetapi dia menolak. Bisa saja pencalonan itu menciptakan murka orang-orang Belanda. Itulah sebabnya, dia termasuk orang yang dicari-cari oleh Belanda.
Dengan demikian, kedua faktor tadi sama benarnya untuk menjelaskan kepindahan dia dari Pasuruan ke Jatian. Walaupun demikian, menyerupai dikatakan oleh Kiai Hasan Abdillah, dia menolak menjadi bupati lantaran dia ialah orang yang tidak mengagulkan jabatan, bukan lantaran takut Belanda.
Dan itu, kami kira, benar. Sebab, sebelumnya dia telah menolak usulan jabatan penghulu dari Jepang. Beliau juga menolak usulan duduk di jajajaran pengurus NU lantaran merasa diri tidak pantas.
Hijrah Lagi
Selama tinggal di Jatian, dia menggelar pengajian. Pengajian ini diikuti baik oleh orang-orang Jatian maupun dari luar. Di antara orang luar Jatian yang rajin mengikuti pengajian dia ialah H. Abdul Azhim dan H. Sholeh, keduanya berasal dari Glenmore, Banyuwangi.
Mereka di Glenmore terbilang saudagar kaya. Waktu itu Glenmore ialah kawasan yang gersang dari segi siraman rohani. Daerah yang keras lantaran di sana banyak preman. Kemaksiatan merajalela, termasuk yang biasa disebut sebagai Mo Limo (5-M): madat (mabuk-mabukan), madon (zina), main (judi), maling (mencuri), mateni (membunuh). Sementara itu, jumlah guru agamanya tidak banyak. Ada seorang guru agama di sana yang konon masih suka bermain sabung ayam.
Itulah, maka H. Abdul Azhim dan H. Sholeh berinisiatif untuk menawari Kiai Achmad pindah ke Glenmore. Ternyata gayung bersambut. Beliau mengiyakan usulan tersebut. Satu setengah tahun sesudah bermukim di Jatian, dia melaksanakan hijrah lagi, yaitu ke Glenmore.
Mula-mula dia tinggal di rumah H. Abdul Azhim yang terletak di sebelah barat pasar. Lalu dia membeli rumah di timur pasar. Tak usang kemudian rumah itu dijual, dan hasil penjualannya digunakan membeli rumah di Kalibaru.
Beliau sendiri menempati rumah kontribusi H. Mustahal, yang terletak sekitar 200 meter sebelah selatan rumah yang dijual tadi. Rumah ini menjadi tempat tinggal permanen dia hingga simpulan hidup beliau.
Akan halnya keberadaan dia di Glenmore, sungguh tak mudah. Setelah melewati masa “bulan madu”, mulailah dia menapak jalan menanjak. Beliau difitnah. Seperti dituturkan oleh Abdusy Syakur (70 tahun), warga Magelenan, Glenmore, suatu kali Pak Syarqowi datang, menyampaikan bahwa dia jadi omongan orang. “Sudah biar saja, orang kalau dibicarakan itu, dosanya habis,” kata beliau. Lalu dia masuk ke dalam rumah, dan kembali membawa uang. “Ini berikan pada orang-orang yang membicarakan aku. Terima kasih, dikarenakan telah menghabiskan dosaku.”
Memang dia menjadi materi percakapan orang banyak. Dan itu ada provokatornya, kata Kiai Abdillah. Provokator ini menghasut orang. “Jangan ke Kiai Achmad Qusyairi,” katanya di hadapan orang banyak dalam program tahlilan. Fitnah itu begitu menghebat hingga Kiai Hasan, yang masih muda kala itu, tidak tahan. Dia sudah mau marah. Dia melaporkan hal itu pada Kiai Hamid, abang iparnya. “Anu Lah, wong Glenmore iku gak nyucuk karo ilmune Abah (Orang-orang Glenmore tidak sanggup menjangkau ilmu KH. Achmad),” kata Kiai Hamid kepada Kiai Abdillah. Beliau juga menyarankan supaya Kiai Achmad kembali ke Pasuruan.
Kiai Abdillah juga membatin, “Biar Abah ke Pasuruan saja, orang-orang saya yang hadapi.” Tetapi dia bersikukup tetap tinggal di Glenmore. “Biar saja saya difitnah. Aku lebih suka dicela orang daripada dipuji,” ujar beliau.
Di tengah terpaan angin ribut yang hebat itu, dia tetap bertahan. Beliau mengemong masyarakat. Sedikit demi sedikit dia memperbaiki keadaan. Beliau mendirikan musalla di utara rumah dia (1948). Di musalla ini dan di rumah beliau, dia menggelar pengajian. Para ustaz dan kiai di Glenmore mengaji pada beliau. Orang-orang awam juga. Ada yang dari Glenmore, ada pula dari luar Glenmore.
Tetapi, tentu saja, tidak hanya lewat pengajian dia mengemong dan mendidik masyarakat, tapi juga lewat keteladanan dan nasihat-nasihat. Terkadang dia marah. Seperti murka dia kepada Cak Arik kala cowok ini masih bermain layang-layang padahal waktu salat Jumat tinggal beberapa menit lagi.
Glenmore pun, pelan tapi pasti, beringsut. Citranya berubah. Dari desa Mo Limo, desa yang tidak kondusif dan penuh kerawanan, menjadi desa santri yang hening dan aman. Orang-orang yang dulunya dikenal sebagai perampok, pembunuh, jago menarik hati istri orang – pendeknya para satria dan preman – berubah penampilan menjadi santri setia dia yang alim.
Dan dengan sendirinya pula, fitnah yang pernah merebak hebat, lambat laun mereda. Omongan-omongan miring mengenai dia menghilang, dan orang-orang yang dulunya menjadi pemfitnah dan penghasut berubah menjadi para santri yang taat beragama dan bersikap takzhim pada beliau. Ternyata, segala fitnah dan hasutan itu dikarenakan kesalah-pahaman belaka. Sekarang, orang telah mengerti. Berkat kesabaran dan konsistensi dia dalam menjaga syariat, lambat laun mereka menjadi semakin tahu. Coba, seandainya dia mundur sebelum berjuang, mungkin Glenmore tidak banyak berubah. Jadi, alangkah besarnya manfaat kesabaran dalam perjuangan. Dan benarlah firman Allah:
"Apakah insan mengira bahwa mereka akan dibiarkan berkata, “Kami beriman,” sedang mereka tidak diuji?"
Wafat
Dalam usia senja beliau, sekitar tahun 1970, berkali-kali dia menyampaikan ingin wafat di tanah suci Mekah. Hal itu dia ucapkan dalam banyak kesempatan di hadapan orang banyak. Kebetulan ketika hendak berangkat menunaikan ibadah haji pada 1971 dia dilanda sakit.
Maka dari itulah, ketika dia berangkat ke tanah suci dengan menumpang kapal laut, banyak orang yang waswas. Walaupun dia sempat dinyatakan sehat oleh dokter pada hari-hari menjelang keberangkatan, sesampai di Mekah dia menderita sakit keras. Begitu parahnya sehingga dia hanya tergolek di tempat tidur. Ibu Nyai Zainab, yang menyertai beliau, dengan teladen meladeni segala kebutuhan beliau. Termasuk, maaf, menceboki dia lantaran dia benar-benar tidak bisa bangkit dari pembaringan. Tak heran jikalau sempat terbetik perasaan khawatir di hati Ibu Nyai tersebut, “Bagaimana kalau saya ditinggal sendirian di sini?” Betapa beratnya bagi Bu Nyai yang tak pernah keluar dari rumah itu berada dan pulang sendirian dari negeri orang.
Alhamdulillah, beberapa hari menjelang pulang, Kiai Achmad berangsur sehat. Allah Maha berkehendak. Beliau pun pulang ke tanah air menyertai istri dia dalam keadaan sehat wal afiat. Para anggota keluarga, handai tolan dan para santri yang sempat khawatir merasa lega.
Tetapi dia tidak usang menyertai beliau. Pada tahun berikutnya di bulan Syawal, dikala berada di Gresik, dia jatuh di kamar mandi. Ternyata kejatuhan itu membawa dampak yang besar pada kesehatan beliau. Beliau pribadi jatuh sakit dan tidak bisa bangkit dari pembaringan.
Beliau kemudian dibawa ke Pasuruan, dan menempati rumah Kiai Hamid, yakni rumah yang dulu dia tinggali. Seminggu berada di sana, dia dilanda koma. Dan pada tanggal 22 Syawal 1392 H. bertepatan dengan 28 November 1972 M dia menghembuskan nafas terakhir dalam usia 81 tahun, meninggalkan 15 putra dan putrid, sejumlah cucu dan dua orang istri: Ibu Nyai Hajjah Halimah dan Ibu Nyai Hajjah Zainab.
Dengan diantar ribuan pelayat, dia dikebumikan di kompleks pemakaman di belakang Masjid Agung Al-Anwar Pasuruan.
Beliau pun menjadi yang terakhir dari tiga serangkai yang wafat dalam waktu tiga bulan berturut-turut. Yang pertama ialah KH. Achmad Sahal Pasuruan pada bulan Sya’ban, kemudian KH. Ma’shum Lasem pada bulan Ramadhan, dan dia sendiri wafat pada bulan Syawal. (Hamid Ahmad, putra terakhir dari KH. Achmad Qusyairi b. Shiddiq_posted from salafiyah.org)