Belajar Wacana Sumber-Sumber Aturan Syar’I (1)

Oleh :  Huda Tyas Pamuji, Syaiful Anwar, Fatkul Hadi PEMBAHASAN A. AL-QUR'AN 1. Pengertian Al-Qur’an  Menurut sebagian ...

A+ A-
Oleh :  Huda Tyas Pamuji, Syaiful Anwar, Fatkul Hadi

PEMBAHASAN

A.AL-QUR'AN

1.Pengertian Al-Qur’an 

Menurut sebagian ulama besar, Al-Qur’an dari segi bahasa merupakan bentuk mashdar dari kata qara’a (ﻗﺮﺃ) yang berarti bacaan atau apa yang tertulis padanya. Subjek dari kata Qara’a (ﻗﺮﺃ) berupa isim fa’il yaitu Maqru’ (ﻣﻘﺮﻭﺀ) mirip terdapat dalam irman Allah SWT. dalam surat Al-Qiyamah (75): 17-18:
     
Artinya: 'Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu."

Dalam kajian ushul fiqih, Al-Qur'an juga disebut dengan beberapa nama seperti:  

a. Al-Kitab, artinya goresan pena atau buku. Arti ini mengingatkan pada kita kaum muslimin semoga Al-Qur'an dibukukan atau ditulis menjadi suatu buku. 

b. Al-Furqan, artinya pembela. Hal ini mengingatkan pada kita semoga dalam mencari garis pemisah antara yang hak dan yang batil, yang baik dan yang jelek haruslah merujuk padanya. 

c. Al-Zikr, artinya ingat. Arti ini memperlihatkan bahwa Al-Qur'an berisi peringatan semoga tuntutannya selalu diingat dalam melaksanakan setiap tindakan. 

d. Al-Huda, artinya petunjuk. Arti ini mengingatkan bahwa petunjuk wacana kebenaran hanyalah petunjuk yang diberikannya atau yang mempunyai acuan kepada Al-Qur'an. 

Dari segi terminologi, Al-Qur'an ialah kalam Allah berbahasa Arab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW., dengan perantaraan Malaikat Jibril serta diriwayatkan secara mutawatir dan tertulis dalam mushaf. 
Adapun definisi Al-Qur’an secara terminologi, berdasarkan sebagian besar ulama Fiqih ialah sebagai berikut:

كلام الله تعا لى المنزل على محمد صلى الله عليه وسلم بالفظ العر بي المنقول الينا بالتوا تر المكتوب با المصا حف المتعبد بتلا وته المبدوء بالفاتحة والمختوم  بسورة الناس.

Artinya: “Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. dalam bahasa Arab yang dinukilkan kepada generasi sesudahnya secara mutawatir, membacanya merupakan ibadah, tertulis dalam mushaf, dimulai dari surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas.

Dari definisi di atas, para ulama ushul fiqih menyimpulkan beberapa ciri khas Al-Qur’an, antara lain sebagai berikut:

a.Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Muhammad saw. Dengan demikian, apabila bukan kalam Allah dan tidak diturunkan kepada Muhammad saw. tidak dinamakan Al-Qur’an.

b.Bahasa Al-Qur’an ialah bahasa Arab Quraisy. Seperti ditunjukan dalam beberapa ayat Al-Qur’an, antara lain: Asy-Syu’ara (26): 192-195, Yusuf (12): 2, Az-Zumar (39): 28, An-Nahl (16): 103, dan Ibrahim   (14): 4.

c.Al-Qur’an itu dinukilkan kepada beberapa generasi sesudahnya secara mutawatir, tanpa perubahan dan pengganti satu kata pun.

d.Membaca setiap kata dalam Al-Qur’an itu mendapatkan pahala dari Allah, baik bacaan itu berasal dari hapalan sendiri maupun dibaca pribadi dari mushaf Al-Qur’an.

e.Al-Qur’an dimulai dari surat Al-Fatihah dan di akhiri dengan surat    An-Nas.

2. Kehujjahan Al-Qur'an Menurut Pandangan Ulama' Imam Madzab

a.Pandangan Imam Abu Hanifah

Beliau sependapat dengan jumhur ulama' bahwa Al-Qur'an merupakan aturan Islam. Namun sebagian ulama' Abu Hanifah beda dalam mengenai Al-Qur'an yaitu bahwa Al-Qur'an dengan maknanya saja boleh yang mana bisa memakai bahasa selain Arab, contohnya Persi, Indonesia walaupun tidak dalam keadaan madarat.

b.Pandangan Imam Malik

Beliau beropini hakikat Al-Qur'an ialah kalam Allah yang lafazh dan maknanya dari Allah SWT. Al-Qur'an ialah sifat Allah dan bukan makhluk, barang siapa memberi predikat mahluk itu kafir zindiq.
Dengan demikian, ia mengikuti ulama' salaf yang membatasi pembahasan Al-Qur'an sesempit mungkin yang khawatir akan kebohongan terhadap Allah SWT.

c.Pandangan Imam Syafi'i

Beliau sebagaimana ulama' lainya, memutuskan Al-Qur'an merupakan sumber aturan yang paling pokok dan mencantumkan ayat-ayat tersebut sebagai metodenya yaitu deduktif. Namun Al-Qur'an tidak lepas dari as-Sunnah yang mana selalu berkaitan.

d.Pandangan Imam Ahmad Ibnu Hambal

Beliau beropini mirip halnya Imam Syafi'i, namun as-Sunnah mempunyai kedudukan yang sangat kuat dan betul-betul penting yaitu sebagai penafsir Al-Qur'an dan menyebutkan kedua tersebut ialah nash sumber aturan Islam. 
3. Garis-garis besar isi Al-Qur’an 

Pokok-pokok isi Al-Qur’an ada lima: 

a.Tauhid, kepercayaan terhadap Allah, Malaikat-malaikatnya, Kitab-kitabnya, para RasulNya, hari kemudian, dan Qadla dan Qadar yang baik dan buruk.

b.Tuntunan ibadah sebagai sebagai aktivitas yang menghidupkan jiwa tauhid. 

c.Janji dan ancaman; Al-Qur’an menjanjikan pahala bagi orang yang mau mendapatkan dan mengamalkan isi Al-Qur’an dan mengancam mereka yang mengingkarinya dengan siksa.

d.Hukum yang dihajati pergaulan hidup bermasyarakat, untuk  kebahagiaan dunia dan akhirat. 

e.Inti sejarah orang-orang yang tunduk kepada Allah, yaitu orang-orang yang saleh mirip Nabi-nabi dan Rasul-rasul, juga sejarah mereka yang mengingkari Agama Allah dan hukum-hukumnya. Maksud sejarah ini ialah sebagai tuntunan dan tauladan bagi orang-orang yang hendak mencari kebahagiaan dan meliputi tuntutan akhlaq. 

4. Petunjuk (Dilalah) Al-Qur’an

Kaum muslimin sepakat bahwa Al-Qur’an merupakan sumber aturan syara’. Mereka pun sepakat bahwa semua ayat Al-Qur’an dari segi wurud (kedatangannya) dan tsubut (penetapannya) ialah qath’i. Hal ini lantaran semua ayatnya hingga kepada kita dengan jalan mutawatir. Kalaupun ada sebagian sahabat yang mencantumkan beberapa kata pada mushaf-nya, yang tidak ada pada qira’ah mutawatir, hal itu hanya merupakan klarifikasi dan penafsiran terhadap Al-Qur’an yang di dengar dari Nabi saw. atau hasil ijtihad mereka. 
Adapun ditinjau dari segi dilalah-nya, ayat-ayat Al-Qur’an ini sanggup dibagi dalam dua bagian:

a.Nash yang qath’i dilalah-nya

Yaitu nash yang tegas dan terang maknanya, tidak bisa di-takwil, tidak mempunyai makna yang lain, dan tidak tergantung pada hal-hal lain di luar nash itu sendiri. Contohnya ialah ayat yang memutuskan kadar pembagian waris, pengharaman riba, pengharaman daging babi, eksekusi had zina sebanyak seratus kali dera dan sebagainya. Ayat-ayat yang menyangkut hal-hal tersebut, maknanya terang dan tegas dan membuktikan arti dan maksud tertentu, dan dalam memahaminya tidak memerlukan ijtihad.

b.Nash yang zhanni dilalah-nya

Yaitu nash yang membuktikan suatu makna yang sanggup di-takwil atau nash yang mempunyai makna lebih dari satu, baik lantaran lafazhnya musytarak (homonim) ataupun susunan kata-katanya sanggup dipahami dengan banyak sekali cara, mirip dilalah isyarat-nya, iqtidha-nya, dan sebagainya.

5. Sikap Para Ulama dikala Zahir Al-Qur’an Berhadapan dengan Sunah

Dalam hal ini, ulama berbeda pandangan, Imam Asy-Syafi’i, Ahmad Ibnu Hambal, dan ulama lainnya beropini bahwa pemahaman Al-Qur’an itu mesti diubahsuaikan dengan keterangan yang ada dalam Sunah, lantaran Sunah berfungsi sebagai penjelas dan penafsir Al-Qur’an, dan juga sebagai takhsis terhadap ayat-ayat yang mujmal (umum), sehingga artinya menjadi jelas. Contohnya sangat banyak, dan para ulama pun bila tidak menemukan penafsiran dari Al-Qur’an itu sendiri akan mencari penafsirannya dari Sunah. 
Dengan demikian sanggup dipahami bahwa pendapat para ulama mengenai takhshish sunah terhadap Al-Qur’an dibagi dua:

a.As-Sunah sebagai hakim terhadap Al-Qur’an, yakni As-Sunah sebagai tafsir dan penjelas maksud-maksud ayat yang ada dalam Al-Qur’an.

b.Al-Qur’an sebagai hakiim bagi sunah, yakni sunah tidak dianggap sahih jikalau bertentangan dengan Al-Qur’an, termasuk di dalamnya khabar Ahad.

6. Dasar-dasar Al-Qur’an dalam Membuat Hukum

Al-Qur’an diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad untuk menjadi petunjuk dan pengajaran bagi seluruh umat manusia, dalam mengadakan perintah dan larangannya,   Al-Qur’an selalu berpedoman kepada tiga hal, yaitu: 
a.Tidak memberatkan atau menyusahkan sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 286 sebagai berikut.
Yang Artinya, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai kesanggupannya”. 
Dengan dasar itulah, kita boleh: 
1.mengqashar shalat (dari empat menjadi dua raka’at) dan menjama’ (mengumpulkan dua shalat), yang masing-masing apabila dalam bepergian sesuai dengan syarat- syaratnya. 
2.boleh tidak berpuasa apabila dalam bepergian. 
3.boleh bertayamum sebagai ganti wudlu. 
4.boleh makan masakan yang diharamkan, jikalau keadaan memaksa. 
b.Tidak memperbanyak beban atau tuntutan contohnya zakat, lantaran hanya diwajibkan bagi orang yang bisa saja, dan lain-lain.
c.Berangsur-angsur Al-Qur’an telah menciptakan hukum-hukum dengan berangsur-angsur. Hal ini sanggup diketahui dalam proses mengharamkan sesuatu secara berangsur-angsur, mirip larangan minum-minuman keras dan perjudian, yang dikemukakan oleh firman Allah surat al-Baqarah ayat 219, al-Nisa ayat 43. Kemudian datanglah fase terakhir firman Allah surat al-Maidah ayat 90. Demikian Allah menciptakan larangan dan melaksanakan training aturan secara berangsur-angsur.



B.SUNAH

1.Pengertian Sunah

Arti sunah dari segi bahasa ialah jalan yang bisa dilalui atau suatu cara yang senantiasa dilakuakan, tanpa mempermasalahkan, apakah cara tersebut baik atau buruk. Sebagaimana sabda Rasulullah:

من سن فى الاسلام سنة حسنة فله أجره واجر من عمل بها من بعده.

Artinya:“Barang siapa yang membiasakan sesuatu yang baik di dalam Islam, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang sesudahnya yang mengamalkannya.”

Secara terminologi, pengertian sunah bisa dilihat dari tiga disiplin ilmu:

a.Ilmu Hadits, para mahir hadits mengidentikkan sunah dengan hadits, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw., baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapannya.

b.Ilmu Ushul Fiqh, berdasarkan mahir Ushul Fiqh sunah ialah segala yang diriwayatkan dari Nabi saw. berupa perbuatan, perkataan, dan ketetapan yang berkaitan dengan hukum.

c.Ilmu Fiqih, istilah sunah dalam fiqih dimaksudkan sebagai salah satu aturan taklifi, yang berarti suatu perbuatan yang akan mendapatkan pahala bila dikerjakan dan tidak berdosa apabila ditinggalkan.

2. Pembagian Sunnah-Sunnah atau hadits 

Berdasarkan deinisi berdasarkan para mahir di atas, sanggup dibedakan menjadi Qauliyah, Fi’liyah, dan Taqririyah. 

a. Sunnah Qauliyah, yang sering dinamakan juga dengan khabar atau informasi berupa perkataan Nabi SAW., yang didengar dan disampaikan oleh seorang atau beberapa sahabat kepada orang lain. Sunnah Qauliyah sanggup dibedakan atas 3 bagian: 

1) Diyakini benarnya, mirip kabar yang tiba dari Allah dan dari Rasul-Nya yang diriwayatkan oleh orang-orang yang sanggup mendapatkan amanah dan kabar-kabar mutawatir. 

2) Diyakini dustanya, mirip dua kabar yang berlawanan dan kabar yang menyalahi dari ketentuan-ketenauan syara’, mirip bid’ah-bid’ah sayyi’ah. 

3) Yang tidak diyakini benarnya dan dustanya yang terdiri atas 3 macam:

Tidak kuat benarnya dan tidak pula dustanya, mirip informasi yang disampaikan oleh orang yang bodoh. 
Kabar yang kuat dustanya dari benarnya, mirip informasi yang disampaikan oleh orang fasik (yakni orang yang tidak mengakui peraturan-peraturan Islam, tetapi tidak mengindahkannya). 
Kabar yang kuat benarnya dari dustanya, mirip kabar yang disampaikan oleh orang yang adil (dipercaya). 

b. Sunnah Fi’liyah, yaitu setiap perbuatan yang dilakukan oleh Nabi SAW., yang diketahui dan disampaikan oleh para sahabat kepada orang lain. Misalnya, cara wudhu yang dipraktekkan Nabi SAW., tata cara shalat, dan haji. Sunnah Fi’liyah terbagi menjadi 5 bentuk, yaitu : 

1)Nafsu yag terkendalikan oleh harapan dan gerakan kemanusiaan, mirip gerakan anggota tubuh dan gerak badan; Sunnah Fi’liyah mirip ini memperlihatkan mubah (boleh). 
2)Sesuatu yang tidak bekerjasama dengan ibadah, mirip berdiri, duduk, dan lain- lain. 
3)Perangai yang membawa kepada syara’ berdasarkan kebiasaan yang baik dan tertentu, mirip makan, minum, berpakaian, dan tidur. 
4)Sesuatu yang tertentu kepada Nabi sjaa, mirip beristeri lebih dari empat orang. 
5)Untuk menjelaskan hukum-hukum yang mujmal (samara-samar), mirip menjelaskan perbuatan haji dan umrah; perbuatan-perbuatan shalat yang lima waktu (fardu) dan shalt khusuf (gerhana). 

c. Sunah Taqririyah, yaitu perbuatan atau ucapan sahabat yang dilakukan di hadapan atau sepengetahuan Nabi SAW, tetapi Nabi hanya membisu dan tidak menyegahnya. Sikap membisu dan tidak mencegah memperlihatkan persetujuan Nabi SAW. misalnya, kasus Amr ibn Al-Ash yang berada dalam keadaan junub (wajib mandi) pada suatu malam yang sangat dingin. 

d. Sunnah Hammiyah, yaitu suatu yang dikehendaki Nabi (diingini) tetapi belum jadi dikerjakan, meisalnya ia ingin melaksanakan puasa pada tanggal 9 Muharram, tetapi belum dilakukan ia telah wafat. Walaupun harapan itu belum terlaksana, namun sebagian besar para ulama menganggap sunnah berpuasa pada tanggal 9 Muharram itu.

3. Dilalah (Petunjuk) Sunah

Ditinjau dari segi petunjuknya, hadits sama dengan Al-Qur’an, yaitu bisa qath’iyah dilalah dan bisa zhaniyah dilalah. Demikian juga dari segi tsubut, ada yang qath’i dan ada yang zhanni. Kebanyakan ulama menyepakati pembagian tersebut, namun dalam penerapannya berbeda-beda.
Dalam kaitannya antara nisbat As-Sunah terhadap Al-Qur’an, para ulama telah sepakat bahwa As-Sunah berfungsi menjelaskan apa yang terdapat dalam Al-Qur’an dan juga sebagai penguat. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat mengenai kedudukan As-Sunah itu tidak sejalan dengan zhahir ayat Al-Qur’an.

4. Kedudukan Sunah terhadap Al-Qur’an

Sunah merupakan sumber kedua setelah Al-Qur’an. Karena Sunah merupakan penjelas Al-Qur’an, maka yang dijelaskan berkedudukan lebih tinggi daripada yang menjelaskan. Namun demikian, kedudukan Sunah terhadap Al-Qur’an sekurang-kurangnnya ada tiga hal sebagai berikut:

a.Sunah sebagai ta’kid (penguat) Al-Qur’an

Hukum Islam disandarkan kepada dua sumber, yaitu Al-Qur’an dan Sunah. Tidak heran kalau banyak sekali Sunah yang menerangkan wacana kewajiban shalat, zakat, puasa, larangan musyrik, dan lain-lain.

b.Sunah sebagai penjelas Al-Qur’an

Sunah ialah penjelas (bayanu tasyri’) yang diakui bahwa sebagian umat Islam tidak mau mendapatkan Sunah, padahal dari mana mereka mengetahui bahwa shalat zhuhur itu empat raka’at, magrib tiga raka’at, dan sebagainya kalau bukan dari sunah.
Maka jelaslah bahwa sunah itu berperan penting dalam menjelaskan maksud-maksud yang terkandung dalam Al-Qur’an, sehingga sanggup menghilangkan kekeliruan dalam memahami Al-Qur’an. Penjelasan sunnah terhadap Al-Qur’an sanggup dikategorikan menjadi tiga bagian:

1)Penjelasan terhadap hal yang global, mirip diperintahkannya shalat dalam Al-Qur’an tidak diiringi klarifikasi mengenai rukun, syarat dan ketentuan-ketentuan shalat lainnya. Maka dijelaskan dalam sabda Rasulullah:

صلوا كما رأ يتمو نى أصلى

Artinya:“Shalatlah kau semua, sebagaimana ka,u telah melihat saya shalat

2)Penguat secara mutlak, sunah merupakan penguat terhadap dalil-dalil umum yang ada dalam Al-Qur’an.

3)Sunah sebagai takhsis terhadap dalil-dalil Al-Qur’an yang masih umum.

c. Sebagai musyar’i (Pembuat Syari’at)

Sunah tidak diragukan lagi merupakan pembuat syari’at dari yang tidak ada dalam Al-Qur’an, contohnya diwajibkannya zakat fitrah, disunahkan aqiqah, dan lain-lain. Dalam hal ini, ulama berbeda pendapat:
1)Sunah itu memuat hal-hal gres yang belum ada dalam Al-Qur’an.
2)Sunah tidak memuat hal-hal gres yang tidak dalam Al-Qur’an, tetapi hanya memuat hal-hal ada landasannya dalam Al-Qur’an.

C.  IJMA’

1. Pengertian Ijma’ 

Pengertian ijma’ secara etimologi ada dua macam, yaitu : 
a. Ijma’ berarti kesepakatan atau konsensus terhadap sesuatu, contohnya perkataan: Suatu kaum telah berijma’ begini, jikalau mereka telah sepakat begini.  Pengertian ini dijumpai dalam surat Yusuf ayat 15:


Artinya, “Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka masukkan dia), dan (di waktu dia sudah dalam sumur) kami wahyukan kepada Yusuf: “Sesungguhnya kau akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang mereka tiada ingat lagi.” 

b. Ijma’ berarti bermaksud, tekad atau niat, ﺍﻟﻌﺰﻡ ﻋﻠﻰ ﺷﻲﺀ yaitu ketetapan hati untuk melaksanakan sesuatu. Pengertian ini bisa ditemukan dalam irman Allah SWT, dalam surat Yunus ayat 71 :


Artinya, “Dan bacakanIah kepada mereka informasi penting wacana Nuh di waktu dia Berkata kepada kaumnya: “Hai kaumku, jikalau terasa berat bagimu tinggal (bersamaku) dan peringatanku (kepadamu) dengan ayat-ayat Allah, Maka kepada Allah-lah Aku bertawakal, Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku). Kemudian janganlah keputusanmu itu dirahasiakan, kemudian lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kau memberi tangguh kepadaku”.

Adapun pengertian ijma’ secara terminologi, ada beberapa rumusan ijma’ yang dikemukakan para ulama ushul fiqih. 

1.Ibrahim ibn Siyat Al-Nazzam, seorang tokoh Mu’tazilah, merumuskan ijma’dengan “setiap pendapat yang didukung oleh hujjah, sekalipun pendapat itu muncul dari seseorang.”

2.Imam Al-Ghazali, merumuskan ijma’ dengan “Kesepakatan umat Muhammad secara khusus wacana suatu duduk kasus agama.” deinisinya bahwa berijma’ harus dialakukan setelah wafatnya Rasulullah SAW. Alasannya, lantaran pada masa Rasulullah, ijma’ tidak diperlukan, alasannya ialah keberadaan Rasulullah SAW. sebagai Syari’ (penentu/pembuat hukum) tidak memerlukan ijma’. 

3.Rumusan ini, berdasarkan Al-Amidi, tokoh ushul iqih Syafe’iyyah, menyampaikan bahwa ijma’ harus dilakukan dan dihasilkan oleh seluruh umat Islam, lantaran suatu pendapat yang sanggup terhindar dari suatu kesalahan hanyalah apabila disepakati oleh seluruh umat. 

4.Pengarang kitab Fushulul Bada'i beropini bahwa ijma' ialah kesepakatan semua mujtahid dari ijma' umat Muhammad SAW. dalam suatu masa setelah ia wafat terhadap aturan syara'. 

5.Pengarang kitab Tahrir, Al- Kamal bin Hamam beropini bahwa ijma' ialah kesepakatan mujtahid suatu masa dari ijma' Muhammad SAW. terhadap duduk kasus syara'. (Al-Ghafari)

Jumhur ulama ushul fiqih mengemukakan bahwa ijma’ ialah :

Kesepakatan seluruh mujtahdid Islam dalam suatu masa, setelah wafat Rasulullah SAW., akan suatu aturan syariat yang amali”. 

2. Syarat-Syarat dan Rukun Ijma'

a.Dari definisi ijma sanggup diketahui bila memenuhi syarat atau kriteria-kritaria di bawah ini

1)Yang bersepakat ialah para mujtahid

Para ulama'  mempunyai kesamaan dalam pengertian mujtahid ialah orang Islam yang balig, berakal, mempunyai sifat terpuji dan bisa negistinbath aturan dari sumbernya.
Dengan demikian, kesepakatan orang awam (bodoh) atau mereka yang belum mencapai derajat mujtahid tidak dikatakan ijma', begitu pula penolakan mereka. Karena mereka tidak mahir dalam menelaah hukum-hukum syara'.
Maka, jikalau pada suatu masa tidak ada seorangpun yang mencapai derajat mujtahid, tidak dikatakan ijma'. Meskipun ada, tetapi hanya satu orang, itupun tidak dikatakan ijma', lantaran tidak mungkin seseorang sepakat dengan dirinya. Dengan demikian, suatu kesepakatan bisa dikatakan ijma' bila dilakukan tiga orang atau lebih. Menurut jumhur ulama' dua orang  bisa dikatakan ijma' jikalau tersebut mewakili kesepakatan seluruh Mujtahid yang pada masa itu.

2)Yang bersepakat ialah seluruh mujtahid 

Sebagian ulama' berpandangan bahwa ijma' itu sah bila dilakukan oleh sebagian besar mujtahid, lantaran yang dimaksud kesepakatan ijma' termasuk pula kesepakan sebagian besar dari mereka. Begitu pula berdasarkan kaidah fiqih, sebagian besar itu telah meliputi aturan keseluruhan.

3)Para mujtahid harus umat Muhammad SAW.

Kesepakatan yang dilakukan oleh para ulama' selain umat Muhammad SAW. tidak bisa dijadikan ijma. Hal itu memperlihatkan ada umat lain yang berijma'. Adapun ijma' umat Nabi SAW. tersebut telah terjaminbahwa mereka tidak mungkin berijtihad untuk melaksanakan suatu kesalahan. 

4)Dilakukan setelah wafatnya Nabi SAW.

Ijma' itu tidak terjadi dikala Nabi masih hidup, lantaran senantiasa menyepakati perbuatan-perbuatan para sahabat yang dipandang baik, dan itu dianggap sebagai syari'at.

5)Kesepakatan mereka harus bekerjasama dengan syari'at

Maksudnya, kesepakatan mereka haruslah kesepakatan yang ada kaitannya dengan syari'at, mirip wacana wajib, sunnah, makruh, haram, dan lain-lain.

6)Kesepakatan itu hendaknya dinyatakan masing-masing mujtahid dengan terang  dan tegas pada satu waktu, baik dinyatakan secara pribadi maupun berkelompok  dalam satu tempat, dimana sebelumnya juga terjadi perdebatan mengenai duduk kasus yang ada, tetapi berakhir dengan diperolehnya satu pendapat yang bulat, dan masing- masing mereka menyatakan sepakat dan rela atas keputusan tersebut.

7)Hendaknya kesepakatan para mujtahid di atas satu pendapat itu benar-benar sepakat lahir dan batin, bukan formalnya saja.

b.Adapun rukun ijma’ ialah sebagai berikut : 

1)Yang terlibat dalam pembahasan aturan syara’ melalui ijma’ tersebut ialah seluruh mujtahid. Apabila ada di antara mujtahid yang tidak setuju, sekalipun jumlahnya kecil, maka aturan yang dihasilkan itu tidak dinamakan aturan ijma’. 

2)Mujtahid yang telibat dalam pembahasan aturan itu ialah seluruh mujtahid yang ada pada masa tersebut dari banyak sekali belahan dunia Islam. 

3)Kesepakatan itu diawali setelah masing-masing mujtahid mengemukakan pandangannya. 

4)Hukum yang disepakati itu ialah aturan syara’ yang bersifat kasatmata dan tidak ada hukumnya secara rinci dalam Al-Quran. 

5)Sandaran aturan ijma’ tersebut haruslah Al-Quran dan atau hadis Rasulullah SAW. 

3. Macam-macam Ijma'

Ijma' bila dilihat dari cara terjadinya ada dua macam, yaitu :

a.Ijma' Sharih

Bisa disebut ijma' qauly, taqriry, bayany, haqiqy, lafdzy.  Maksudnya, semua mujtahid mengemukakan pendapat mereka masing-masing, kemudian menyepakati salah satunya. 
Hal itu bisa terjadi bila semua mujtahid berkumpul disuatu daerah atau pada suatu masa timbul suatu kejadian kemudian masing-masing mengeluarkan pendapat terhadap duduk kasus yang ingin diketahui ketetapan hukumnya.  Setelah itu, mereka menyepakati salah satu dari banyak sekali pendapat yang mereka keluarkan tersebut.

b.Ijma' Sukuti

Bisa disebut ijma' i'tibary ialah pendapat sebagian ulama' wacana suatu duduk kasus yang diketahui oleh para mujtahid lainya. tapi mereka diam, tidak menyepakati ataupun menolak pendapat tersebut secara jelas. Ijma' sukuti dikatakan sah bila memenuhi beberapa kriteria di bawah ini:

1.Diamnya para mujtahid itu betul-betul tidak memperlihatkan adanya kesepakatan atau penolakan.

2.Keadaan  diamnya para mujtahid itu cukup lama, yang bisa digunakan untuk memeikirkan permasalahannya, dan biasanya dipandang cukup untuk mengemukakan pendapatnya.

3.Permasalahan yang difatwakan oleh mujtahid tersebut ialah permasalahan ijtihadi, yang bersumberkan dalil-dalil yang bersifat zhanni.

4. Kehujjahan Ijma’ 

a. Jumhur Ulama beropini bahwa ijma’ ialah hujjah yang wajib diamalkan, dengan alasan:  
1) Firman Allah surat An-Nisa’ ayat 115:


Artinya: “Dan barangsiapa yang menentang Rasul setelah terang kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang Telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk daerah kembali.”

Allah mengancam orang yang tidak mengikuti jalan kaum mukminin dengan memasukkannya ke neraka jahanam. Yaitu wajibnya mengikuti jalan orang mukmin dan apa yang disepakati umat Islam wajib diikuti dan dihentikan menyalahkannya. 
Zamakhsari berpendapat:  "Bahwa ayat ini memperlihatkan bahwa ijma’ merupakah hujjah yang tak boleh diperselisihkannya Al-Quran dan Sunnah." 
Sedang Amidi mengomentarinya:  "Bahwa ayat ini merupakan ayat yang amat kuat petunjuknya wacana kehujjahan ijma’ dan dengan ayat inilah Imam Syafe’i berpegang."


2) Firman Allah surat Al-Baqarah ayat 143:


Artinya : Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kau (umat Islam), umat yang adil dan pilihan semoga kau menjadi saksi atas (perbuatan) manusia

Ayat tersebut dikemukakan oleh Al-Amidi. Kehujjahan dari ayat tersebut ialah keadilan para mujtahid yang menjadi hujjah bagi insan untuk mendapatkan pendapat mereka. Seperti halnya menjadikan Rasul sebagai hujjah dengan mendapatkan sabdanya. 

3) Firman Allah surat An-Nisa’ ayat 59:


Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jikalau kau berlainan pendapat wacana sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jikalau kau benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” 

Allah memerintahkan untuk menaati Ulil Amri, yang mahir di banyak sekali bidang pengetahuan. Maka ulil amri dalam urusan aturan ialah Hakim, yaitu memperkenalkan aturan Allah dan mengistinbatkannya ialah para mujtahid. Berdasarkan pendapat Abdullah bin Abbas, yang menafsirkan ulil amri itu dengan ulama, maka menaati apa yang diijma’kan ialah wajib. 

4) Beberapa hadis yang memperlihatkan terpeliharanya umat dari kesalahan dan kesesatan, yaitu hadis yang saling memperkokoh dan diterima oleh umat, serta mutawatir maknanya sehingga dijadikan hujjah. 

5) Kesepakatan mujtahid dalam suatu pendapat yang sebagian mereka berbeda, memperlihatkan bahwa pendapat ini merupakan kebenaran yang benar-benar nyata, dan memperlihatkan bahwa tidak terdapat dalil yang menentangnya. 

b. Al-Nazham, sebagian Mu’tazilah dan syi’ah beropini bahwa ijma’ bukan hujjah, dengan alasan: 

1)Setiap individu mujtahid itu mungkin saja tersalah dan hal ini bisa juga terjadi dalam jamaah mereka. Penggabungan satu sama lainnya yang mungkin tersalah itu tidak tidak mungkin memungkinkah mereka menjadi salah juga. 

2)Firman Allah surat an-Nisa' ayat :59


Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu,...

yang memerintahkan taat kepada Allah, Rasul dan Ulil Amri itu memperlihatkan bahwa adanya perintah pengembalian urusan yang disengketakan kepada Kitabullah dan Sunah Rasulullah. Karena itu, jikalau fuqaha  generasi terdahulu berijma’ wacana suatu urusan kemudian ditentang oleh fuqaha generasi sesudahnya, maka wajib mengembalikan permasalahannya kepada Kitabullah dan Sunah Rasul- Nya. 

3)Mu’az bin Jabal dikala diutus Rasulullah ke Yaman tidak menyebutkan ijma’ di antara dalil-dalil daerah rujuknya dalam memutuskan hukum, sementara pernyataan Mu’az itu diakui oleh Rasul. Yang demikian memperlihatkan bahwa ijma’ bukan menjadi hujjah. Selanjutnya, mereka menolak semua argumentasi yang dikemukakan oleh Jumhur Ulama, dengan alasan sebagai berikut:

a. Firman Allah surat al-Nisa ayat 115:



Artinya: “… dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin,..”.

Bahwa yang dimaksud dengan “bukan jalan mukminin itu mirip yang dikatakan oleh Ibn Hazmin, ialah tidak menaati Al-Qur'an, Sunah yang sah dari Rasul.” Jadi, ia tidak memperlihatkan wacana kehujjahan ijma”.

b. Semua hadis yang dipegang oleh Jumhur itu ialah hadis ahad, yang tidak memerikan keyakinan wacana kehujjahan ijma’. Sekiranya diterima atas dasar mutawatir maknanya, maka ia ditempatkan untuk terpeliharanya umat dari kesalahan dan kesesatan dalam menyepakati kekufuran dan menyalahi dalil qath’i  saja. Hal ini mengingat bahwa terdapat hadis Nabi yang memperlihatkan bahwa kesalahan itu bisa terjadi dalam umat, yaitu Sabda Nabi SAW.:
Artinya: “Sungguh Allah tidak mencabut ilmu itu dengan mencabutnya dari hamba, tetapi Ia mencabut melalui maut Ulama, sehingga bila tidak ada lagi orang alim, maka insan pun mengangkat orang jahil menjadi pemimpinnya. Mereka bertanya dan si pemimpin pun memberi fatwa tanpa pengatahuan, yang alhasil mereka menjadi sesat dan si pemimpin merupakan pembuat (pokok pangkal timbulnya) kesesatan” (HR. Bukhari dan Muslim). 

5. Cara Penetapan Ijma’ 

Landasan Ijma’ Jumhur ulama ushul fiqih menyampaikan bahwa ijma’ yang merupakan upaya para mujtahid dalam memutuskan aturan suatu kasus yang tidak ada hukumnya dalam nash, harus mempunyai landasan dari nash atau qiyas. Apabila ijma’ tidak mempunyai landasan, maka ijma’ tersebut tidak sah. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat wacana jenis landasan ijma’ tersebut. 

Mayoritas ulama ushul fiqih menyampaikan bahwa landasan ijma’ itu bisa dari dalil yang qath’i yaitu Al-Quran, Sunah mutawatir, serta bisa juga berdasarkan dalil dzanni, mirip hadis minggu (hadis yang diriwayatkan oleh satu dua atau tiga orang saja yang tidak mencapai tingkat mutawatir) dan qiyas. Ulama Dzahiriyah, Syi’ah, dan Ibn Jarir Al-Thabari menyampaikan bahwa landasan ijma’ itu harus dalil yang qath’i sehingga tidak mungkin didasarkan pada dalil yang dzanni. Dan  maslahah mursalah juga menjadi landasan kesepakatan ulama. Akan tetapi, Zakiyuddin Sya’ban, bahli ushul iqih Mesir, menyampaikan bahwa ijma’ yang didasarkan kepada maslahah mursalah tidak bersifat tetap dan abadi, tetapi bisa berubah sesuai dengan perkembangan kemaslahatan itu sendiri. 

6. Pengingkaran Ijma’ 

Sebagian para ulama ushul mengatakan: Mengingkari aturan ijma' yang qath'i ialah kufur separti ijma' sahabat dengan perkataan yang tegas atas riwayat mutawatir. Namun sebagiannya menyampaikan tidak kufur, lantaran dalil kehujjahan ijma' itu bukan qath'i, melainkan zhanni, sehingga tidak mengakibatkan kekufuran, apabila diingkari.
Imam Haramain menyatakan: Di kalangan para mahir fiqih (fuqaha) telah sependapat, tidak benar orang mengafirkan terhadap penentang ijma', lantaran yang demikaian itu tidak mudah. Selanjutnya ia berkata: Siapa yang mengakui adanya ijma' dan mengakui kebenaran pelaku-pelaku ijma' dalam riwayat itu, kemudian mengingkari hal yang telah mereka sepakati, maka pendusta itu kembali kepada syara' (syar'i), dan barang siapa yang mendustakan syara' ia pun telah kafir.

D. QIYAS

1. Pengertian Qiyas 

Menurut bahasa, qiyas berasal dari kata "qasa, yaqisu, qaisan," artinya ukuran atau mengukur, mengetahui ukuran sesuatu, atau menyamakan sesuatu dengan yang lain.  Dengan demikian, qiyas diartikan mengukurkan sesuatu atas yang lain, semoga diketahui persamaan antara keduanya.

Sedangkan secara terminologi, terdapat beberapa definisi yang dikemukakan para mahir ushul fiqih dengan redaksi yang berbeda sesuai dengan pandapat masing-masing, namun mengandung pengertian yang sama. Di antaranya dikemukakan beberapa ahli:

a.Saifuddin Al-Amidi yang mengatakan:  "Bahwa qiyas ialah Mempersamakan illat yang ada pada furu’ dengan illat yang ada pada asal yang diistinbatkan dari aturan asal." 

b.Mayoritas ulama Syai’iyah mendeinisikan: qiyas ialah Membawa (hukum) yang (belum) diketahui kepada (hukum) yang diketahui untuk memutuskan aturan bagi keduanya, atau meniadakan aturan bagi keduanya, lantaran adanya sesuatu yang menyatukan keduanya, baik aturan maupun sifat.

c.Wahhab Al-Zuhaili mendefinisikan: qiyas ialah Menyatukan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh nash disebabkan kesatuan illat aturan antara keduanya.

d.Al-Humman mengatakan: bahwa qiyas ialah persamaan aturan suatu kasus dengan kasus lainnya lantaran kesamaan illat hukumnya yang tidak sanggup ditentukan melalui pemahaman bahasa secara murni.

Dari beberapa deinisi yang dikemukakan para mahir ushul fiqih tersebut, maka sanggup dijelaskan bahwa qiyas berdasarkan istilah adalah: Suatu proses penggabungan suatu pekerjaan/perbutan pada pekerjaan lain / perbuatan yang belum ada, dengan memutuskan aturan suatu perbuatan yang belum ada ketentuannya, berdasarkan sesuatu yang setelah ada ketentuan hukumnya (nash) dengan adanya kasamaan alasannya ialah illatnya.

Sebagaimana kita ketahui bahwa pada masa sahabat qiyas diartikan dengan mengembalikan suatu tujuan syara’ kepada kaidah-kaidah yang umum dan kepada illat- illat yang cepat dipahami sehingga tidak diperselisihkan lagi. 

2. Rukun Qiyas 

Para ulama ushul fiqih sepakat bahwa rukun qiyas itu terdiri atas empat, yaitu:

a. Ashl (ﺍﻷﺻﻞ)(pokok), berdasarkan para mahir ushul fiqih, merupakan objek yang telah ditetapkan hukumnya oleh ayat-ayat Al-Quran, hadis Rasulullah SAW.,  atau ijma'. Misalnya, pengharaman wisky dengan mengqiyaskan kepada khamar;  maka yang ashl itu ialah khamar; yang telah ditetapkan hukumnya melalui nash. Menurut para mahir ushul fiqih, khususnya dari kalangan  mutakallimin, yang dikatakan Al-Ashl itu ialah nash yang memilih hukum, lantaran nash inilah yang dijadikan patokan penentuan aturan furu'. Dalam kasus wisky yang diqiyaskan kepada khamar, maka yang menjadi ashl berdasarkan mereka ialah ayat 90 – 91 surat Al-Maidah. 

b. Far’u ( ﺍﻟﻔﺮﻉ ) (cabang), ialah objek yang akan ditentukan hukumnya, yang tidak ada nash atau ijma’ yang tegas dalam memilih hukumnya, mirip wisky dalam kasus di atas. 

c. Illat ( ﺍﻟﻌﻠﺔ ), ialah sifat yang menjadi motif dalam memilih hukumnya, yang tidak ada nash atau ijma’ yang tegas dalam memilih hukumnya, mirip wisky dalam kasus di atas. 

d. Hukum Ashl, ialah sifat yang menjadi motif dalam memilih hukum, dalam kasus khamar di atas illatnya ialah memabukkan.

3. Syarat-syarat Qiyas 

Untuk memutuskan aturan suatu kasus dengan qiyas yang belum ada ketentuannya dalam Al-Quran dan hadis harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 

a. Syarat-Syarat Ashl (Soal-Soal Pokok) 

1)Hukum yang hendak dipilihkan untuk cabang masih ada aturan pokoknya. Kalau tidak ada, aturan tersebut harus dimansukh maka dihentikan ada pemindahan hukum. 
2)Hukum yang ada dalam pokok harus aturan syara'.
3)Hukum pokok tidak merupakan aturan pengecualian, mirip sahnya puasa orang lupa meskipun makan dan minum. Mestinya puasanya menjadi rusak alasannya ialah sesuatu tidak tetap ada apabila berkumpul dengan hal-hal yang menaikannya. Namun, puasanya tetap ada alasannya ialah ada hadis yang menjamin atas sahnya puasa itu. Artinya: “Barang siapa yang lupa padahal ia sedang berpuasa kemudian makan dan minum, hendaklah menyempurnakan puasanya sebetulnya Allah yang memberinya makan dan minum” (HR. Bukhari – Muslim). 

b. Syarat-Syarat Cabang

1) Hukum far'i atau cabang tidak lebih dulu ada dari pada aturan pokok ashal. Misalnya, mengqiyaskan wudhu dengan tayamum dan wajibnya niat lantaran keduanya sama-sama taharah (suci). Qiyas tersebut di atas tidak benar lantaran wudhu (dalam pola di atas sebagai cabang) diadakan sebelum hijrah, sedang tayamum (dalam pola di atas sebagai pokok) diadakan setelah hijrah. Bila qiyas tersebut dibenarkan, berarti memutuskan aturan sebelum ada illat-nya. Yakni lantaran wudhu itu telsh berlaku sebelum tayamum.

2) Cabang (far'i) tidak mempunyai ketentuan tersendiri yang berdasarkan ulama ushul berkata, apabila tiba nash, qiyas menjadi batal. 

3) Illat yang terdapat pada cabang harus sama dengan illatnya ashal. 
4) Hukum cabang (far'i) harus sama dengan aturan pokok (ashal). 

c. Syarat-Syarat Illat Illat mempunyai beberapa syarat sebagai berikut:

1) Illat harus tetap berlaku, manakala ada illat, tentu ada aturan dan tidak ada aturan bila tidak ada illat. 

2) Illat kuat pada hukum, artinya aturan harus terwujud dikala terdapatnya illat tanpa menggangu sesuatu yang lain. Sebab adanya illat tersebut ialah demi kebaikan manusia, mirip melindungi jiwa sebagai illat wajibnya qishas, juga mirip memabukkan sebagai illat adanya haram minum-minuman keras.

3) Illat tidak berlawanan dengan nash, dan apabila berlawanan maka nash yang didahulukan. Sebagaimana pendapat segolongan ulama bahwa wanita sanggup mempunyai dirinya, alasannya ialah diqiyaskan dengan bolehnya menjual harta bendanya. Karena itu, wanita tidak sanggup melaksanakan ijab kabul tanpa izin walinya qiyas mirip ini berlawanan dengan nash hadis Nabi yang artinya: “Perempuan yang menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya menjadi batal” (HR. Tirmizi dan lainnya). 

4) Illat harus berupa sesuatu yang terang dan tertentu contohnya berpengarunya illat tersebut lantaran adanya nasihat yang dikehendaki syara’. 

a.Bepergian misalnya, dijadikan illat-nya mengqashar shalat lantaran qashar tersebut mengandung hikmah, yaitu menghindari (mengurangi) kesukaran.
b.Demikian pula zina dijadikan sebagai illat aturan had lantaran ada hikmah, yaitu menjaga keturunan dari percampuran darah. 

4. Macam-macam Qiyas 

Qiyas itu dibagi menjadi 4 (empat), yaitu :  

1) Qiyas Aulawi (lebih-lebih), yaitu yang illatnya sendiri memutuskan adanya hukum, sementara cabang lebih pantas mendapatkan aturan daripada ashal. Seperti haramnya memukul ibu-bapak yang diqiaskan kepada haramnya memaki kepada mereka, dilihat dari segi illatnya iyalah menyakiti, apalagi memukul lebih-lebih menyakiti.

2) Qiyas Musawi (bersamaan illatnya), yaitu illatnya sama dengan illatnya qias aulawi, hanya aturan yang bekerjasama dengan cabang (far'i) itu, sama setingkat dengan aturan ashalnya. Seperti qiyas memakan harta benda anak yatim kepada membakarnya, dilihat dari segi illatnya ialah sama-sama melenyamkan.

3) Qiyas dalalah (menunjukkan), ialah yang illatnya tidak memutuskan hukum, tetapi juga memperlihatkan adanya hukum. Seperti mengqiaskan wajibnya zakat harta benda bawah umur yatim dengan wajibnya zakat harta orang dewasa, dengan alasan keduanya merupakan harta yang tumbuh. 

4) Qiyas Syibhi (menyerupai), ialah mengqiaskan cabang yang diragukan di antara kedua pangkal ke mana yang paling banyak menyamainya. Seperti budak yang dibunuh mati, sanggup di qiaskan dengan orang yang merdeka lantaran sama-sama keturunan Adam as. atau juga sanggup diqiaskan ternak kaarena keduanya ialah harta benda yang dimiliki, dijual, diwakafkan dan diwariskan. Dengan demikian lebih sesuai diqiaskan sebagai harta benda.

5. Kehujjahan Qiyas 

Para ulama berbeda pendapat wacana kebolehan berhujjah dengan qiyas dalam hukum- aturan syaria/agama. 

Dalam hal ini ada beberapa pendapat di antaranya: 

a. Jumhur ulma ushul, mereka tetap menganggap qiyas sebagai dalil istinbat hukum- aturan syara’/agama. Alasan mereka ialah : 
1) Firman Allah SWT. QS. Al-Hasyr: 2 :

Artinya: “Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan.” 

I’tibar dalam ayat ini berasal dari kata ubur yang artinya melewati atau melampaui. Sebab memang qiyas ialah melewati/melampaui dari aturan ashl (pokok) kepada aturan soal cabang (furu’i). Makara qiyas termasuk ke dalam ayat tersebut.

2) Firman Allah QS. An-Nisa: 59 yang berbunyi :


Artinya: “… Kemudian jikalau kau berlainan pendapat wacana sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya),…
Adanya kontradiksi dalam suatu kasus dan dianjurkannya mengembalikan kasus itu di kala tidak ada nashnya kepada Allah (Quran) dan kepada Rasul- Nya (sunah) dimana di dalamnya meliputi segala perkara, termasuk juga menghubungkan suatu kasus yang tidak ada nashnya kepada suatu kasus yang telah ada nashnya. 

Mengutip buku yang berjudul Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (syari'at) dari Rahman I. Mengenai  para ulama dan fuqaha telah menjelaskan syarat-syarat diterimanya qias sebagai hujjah, diantaranaya: 

Qias sanggup digunakan apabila tidak ada pemecahan masalahnya didalam ai-Qur'an dan al-Sunnah.
Qias dihentikan bertentangan dengan prinsip-prinsip pedoman Islam. 
Qias juga dihentikan bertantangan dengan isi kandungan al-Quran maupun Sunnah.
Qias harus benar-benar didasarkan pada al-Qur'an, Sunnah dan Ijma' secara ketat.

b. Sebagian ulama Syi’ah dan golongan dari ulama Mu’tazilah mirip An-Nazzam juga ulama-ulama Zhaririyah tidak mengakui qiyas sebagai hujjah. Alasan mereka ialah, semua insiden (perkara) sudah ada ketentuannya dalam Al-Quran dan sunah baik yang ditunjukkan nash dengan kata-katanya atau tidak mirip kode nash (hukum yang tersirat) atau yang memperlihatkan nash. Karena itu, kita tidak memerlukan qiyas sebagai hujjah namun memakai istilah lain, yakni 'Aql dan Ra'yu bagi konsep Qias ini.

c. Al-Quffalusysyasyi, dari golongan Syai’iyah, dan Abu Hasan Al-Bashri dari golongan Mu’tazillah. Keduanya beropini bahwa penetapan aturan melalui qiyas wajib kita lakukan baik secara agama maupun secara syariat.

DAFTAR PUSTAKA

Rahman I, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syari'ah). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Rifai, Moh. Pelajaran Ushul Fiqih. Semarang: Wicaksana, 1993.
Saebani, Beni Ahmad. Fiqih Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Suhartini, Andewi.  Ushul Fiqih. Jakarta: Diretorat Jenderal Pendidikan Islam Kementrian Agama, 2012.
Syafe'i, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia, 2010.
Usman, Suparman. Hukum Islam Asas-Asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Gaya Media Pratama Jakarta, 2002.

Related

Ushul Fiqh 1802268291641764653

Hot in week

Recent

TOP

Adab dalam Islam Adzan Ajian Semar Mesem Ajian Semar Mesem Jarak Jauh Ajian Semar Mesem Jaran Gorang Ajian Semar Mesem Tanpa Puasa Akhir Zaman Akhlak Tasawuf Amalan AMALAN DAN AJIAN Aplikasi Islami Aqiqah AZIMAT Bahasa Indonesia Bisnis Online BULU PERINDU Cara Menggunakan Semar Mesem CARA MUDAH Doa Doa Anak Sholeh Doa Bahasa Arab DOA DAN AMALAN Doa Enteng Rezeki Doa Kehamilan Doa Para Nabi DOA PEMIKAT HATI WANITA Doa Sehari-hari Doa Selamat Doa Sholat Doa Suami Istri Doa Tolak Bala Doa-Doa Doa-doa Khusus Fatwa MUI Fiqih Hadis Pendidikan Hadits Haji Hukum Islam Ibadah Muslim Ilmu Pendidikan Informasi Islam Iqomah Kajian Islam Kata Bijak KEJAWEN Keris Semar Mesem Kesehatan Islami Kewajiban Muslim Kisah Nabi Kisah Para Nabi Kumpulan Do'a Kumpulan Do'a Manajemen Pendidikan Manajemen SDM Pendidikan Islam (Pasca Sarjana) Mantra Semar Mesem Masail Fiqhiyah Masjid Metodologi Penelitian Kuantitatif (Pasca Sarjana) Metodologi Studi Islam (MSI) Motivasi Muslimah Naishaihul Ibad NEW TOP Niat Nuansa Islam PAGAR NUSA Pascasarjana (Metodologi Studi Islam) Pascasarjana (Studi Materi PAI ) pelet PELET AMPUH PENAGKAL PENCAK SILAT Pendidikan Islam Pendidikan Kewarganegaraan PENGASIHAN Pengembangan Kurikulum pengertian PENGLARIS Perbandingan Madzab Pernikahan Islam Psikologi Perkembangan Psikologi Umum Puasa Puisi Qunut RAJAH Ramadhan Renungan Sejarah Islam Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia Sejarah Peradaban Islam Semar Mesem Shalat Shalat Sunat Sholat Sholat Ashar Sholat Dzuhur Sholat Isya Sholat Magrib Sholat Subuh Siraman Rohani Slider Sosial Studi Fiqih Study Materi Aqidah Akhlak Subhanallah Sunat Sunnah Surat Al-Qur'an Tafsir Al Quran Tafsir Al-Qur’an dan Hadits Tarbawi (Pasca Sarjana) Tahukah Kamu? Tanya-Jawab Tasbih Thaharah ULAMA KITA Ulumul Hadits Ulumul Qur'an Umat Muslim Ushul Fiqh Wajib Zakat Zakat - Amal - Sedekah
item