Belajar Perihal Sejarah Dan Aliran Tasawuf Al-Qusyairi
Oleh Moh. Faiz Zein A, Syaiful Anwar A. Riwayat hidup Al-Qusyairi Nama lengkap al-Qusyairi yakni Abdul Karim bin Hawazin. Ia la...
![](http://img2.blogblog.com/img/icon18_edit_allbkg.gif)
https://kajianamalan.blogspot.com/2019/09/belajar-perihal-sejarah-dan-aliran.html
Oleh Moh. Faiz Zein A, Syaiful Anwar
A. Riwayat hidup Al-Qusyairi
Nama lengkap al-Qusyairi yakni Abdul Karim bin Hawazin. Ia lahir pada tahun 376 H atau tahun 986 M di Istawa, daerah Naisabur, salah satu sentra ilmu pengetahuan pada masanya.
Tidak banyak diketahui mengenai masa kecil Al-Qusyairi, kecuali hanya sedikit saja. Namun, yang jelas, dia lahir sebagai yatim. Ayahnya telah wafat ketika usianya masih kecil. Kemudian pendidikannya diserahkan pada Abul Qasim Al-Yamany, salah seorang sobat bersahabat keluarga Al-Qusyairi. Pada Al-Yamany, ia berguru bahasa Arab dan Sastra. Para penguasa negerinya sangat menekan beban pajak pada rakyatnya. Al-Qusyairi sangat terpanggil atas penderitaan rakyatnya ketika itu. Karenanya, dirinya tertantang untuk pergi ke Naisabur, mempelajari ilmu hitung, semoga bisa menjadi pegawai penarik pajak, sehingga kelak bisa meringankan beban pajak yang amat memberatkan rakyat..
Di Naisabur inilah ia bertemu gurunya, Abu Ali Al-Daqqaq, seorang sufi terkenal. Ketika mendengar ucapan ucapan Ad-Daqqaq, Al-Qusyairi sangat mengaguminya. Ad-Daqqaq sendiri telah berfirasat mengenai kecerdasan muridnya itu. Karena itu Ad-Daqqaq mendorongnya untuk menekuni ilmu pengetahuan. Akhirnya, Al-Qusyairi merevisi impian semula, dan cita cita sebagai pegawai pemerintahan hilang dari benaknya, menentukan jalan tarekat.
Al-Qusyairi selalu menghadiri majelis gurunya, dan dari gurunya itulah ia menempuh jalan tasawuf. Sang guru menyarankan kepadanya untuk pertama-tama mempelajari syari’at. Oleh alasannya yakni itu, Al-Qusyairi berguru Fiqh kepada seorang faqih, Abu Bakr Muhammad bin Abu Bakr Ath-Thusi (w. 405 H), dan mempelajari ilmu kalam serta ushul fiqh pada Abu Bakr bin Farauk (w. 406 H). Selain itu, menjadi murid Abu Ishaq Al-Isfarayini (w. 418 H) dan menelaah banyak karya Al-Baqilani.
Dari situlah, al-Qusyairi berhasil menguasai iktikad Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang dikembangkan Al-Asy’ari dan muridnya. Al-Qusyairi yakni pembela paling tangguh pedoman itu dalam menentang iktikad pedoman Mu’tazilah, Karamiyah, Mujassamah, dan Syi’ah. Karena tindakannya itu, ia menerima serangan keras, bahkan dipenjara selama sebulan lebih atas perintah Tughrul Bek alasannya yakni hasutan seorang menterinya yang menganut pedoman Mu’tazilah Rafidhah. Bencana yang menimpa dirinya itu, yang bermula tahun 445 H, diuraikannya dalam karyanya, Syikayah Ahl As-Sunnah. Menurut B. Khallikan, Al-Qusyairi yakni seorang yang bisa mengompromikan syari’at dengan hakikat. Syuja’ Al-Hadzaly menandaskan, dia wafat di Naisabur tahun 465 H./l073 M.
Ia dimakamkan di samping makam gurunya, Syeikh Abu Ali Ad-Daqqaq ra, dan tidak seorang pun berani memasuki kamar pustaka pribadinya dalam waktu beberapa tahun, sebagai penghormatan atas dirinya.
Al-Qusyairi yakni salah seorang tokoh sufi utama periode kelima Hijriyah. Kedudukannya demikian penting mengingat karya-karyanya perihal para sufi dan tasawuf pedoman Sunni abad-abad ketiga dan keempat Hijriyah menciptakan terpeliharanya pendapat dan khazanah tasawuf pada masa itu, baik dari segi teoritis maupun praktis.
B. Ajaran-Ajaran Tasawuf Al-Qusyairi
1. Mengembalikan Tasawuf ke Landasan Ahlussunnah
Apabila Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah karya Al-Qusyairi dikaji secara mendalam, akan tampak terang bagaimana Al-Qusyairi cenderung mengembalikan tasawuf pada landasan iktikad Ahlus Sunnah, menyerupai pernyataan berikut ini.
“Ketahuilah! Para tokoh pedoman ini (maksudnya para sufi) membina prinsip-prinsip tasawuf atas landasan tauhid yang benar sehigga terperihalah iktikad mereka dari penyimpangan. Selain itu, mereka lebih bersahabat dengan tauhid kaum salaf maupn Ahlus Sunnah, yang tidak tertandingi serta (tidak) mengenal macet. Mereka pun tahu hak yang lama, dan bisa mewujudkan sifat sesuatu yang diadakan dari ketiadaannya. Oleh alasannya yakni itu, tokoh pedoman ini, Al-Junaid menyampaikan bahwa tauhid yakni pemisah hal yang usang dengan hal yang baru. Landasan doktrin-doktrin mereka pun didasarkan pada dalil dan bukti yang berpengaruh serta gambling. Dan ini seperi dikatakan Abu Muhammad Al-Jariri bahwa barang siapa yang tidak mendasarkan ilmu tauhid pada salah satu pengokohya, pasti menciptakan tergelincirnya kaki yang tertipu ke dalam jurang kehancurannya.”
Secara implicit dalam ungkapan Al-Qusyairi tersebut terkandung penolakan terhadap para sufi syathahi, yang mengucapkan ungkapan-ungkapan penuh kesan terjadinya perpaduan antara sifat-sifat ketuhanan, khususnya sifat terdahulu-Nya, dengan sifat-sifat kemanusiaan, khususnya sifat baharunya. Bahkan, dengan konotasi yang lain, secara terang-terangan Al-Qusyairi mengkritik mereka,
“Mereka menyampaikan bahwa mereka telah bebas dari perbudakan aneka macam belenggu malah berhasil mencapai realitas-realitas rasa penyatuan dengan Tuhan (wushul). Lebih jauh lagi, mereka tegak bersama Yang Mahabesar, di mana hukum-hukum-Nya berlaku atas diri mereka, sementara mereka dalam keadaan fana. Allah pun, berdasarkan mereka , tidak mencela maupun melarang apa yang mereka nyatakan ataupun lakukan. Dan kepada mereka disingkapkan rahasia-rahasia ke-Esa-an, dan sehabis fana, mereka pun tetap memperoleh cahaya-cahaya ketuhanan, tempat bergantung segala sesuatu…”
2. Kesehatan Batin
Selain itu, Al-Qusyairi pun mengecam keras para sufi pada masanya alasannya yakni kegemaran mereka mempergunakan pakaian orang-orang miskin, sementara tindakan mereka pada dikala yang sama bertentangan dengan dengan pakaian mereka. Ia menekankan bahwa kesehatan batin dengan berpegang pada Al-Qur’an dan As-Sunnah lebih penting dari pada pakaian lahiriah. Sebagaimana perkataannya,
“Duhai, saudaraku! Janganlah kau terpesona oleh pakaian lahiriah maupun sebutan yang kau lihat (pada para sufi sezamannya). Sebab, ketika hakikat realitas-realitas itu tersingkapkan, pasti tampak keburukan para sufi yang mengada-ada dalam berpakaian... setiap tasawuf yang tidak dibarengi dengan kebersihan maupun penjauhan diri dari maksiat yakni tasawuf palsu serta memberatkan diri; dan setiap yang batin itu bertentangan dengan yang lahir yakni keliru serta bukannya yang batin... dan setiap tauhid yang tidak dibenarkan al-Qur’an maupun al-Sunnah yakni pengingkaran Tuhan dan bukan tauhid; dan setiap pengenalan terhadap Allah (makrifat) yang tidak dibarengi kerendahan hati maupun kelurusan jiwa yakni palsu dan bukannya pengenalan terhadap Allah”.
3. Penyimpangan Para Sufi
Dalam konteks yang berbeda, dengan ungkapan yang pedas, Al-Qusyairi mengemukakan penyimpangan lain dari para sufi periode kelima hijriyah, pendapat Al-Qusyairi barangkali terlalu berlebihan. Namun, apapun masalahnya, paling tidak hal itu memperlihatkan bahwa tasawuf pada masanya mulai menyimpang dari perkembangan yang pertama, baik dari segi iktikad atau dari segi moral dan tingkah laku.
Menanggapi duduk masalah ini, dia berkata, barang siapa yang berkata bahwa syariat berbeda dengan hakikat maka ia zindiq. Serta barang siapa yang berkata bahwa yang dimaksud cinta kepada Allah dan hingga kepadanya yakni tidak mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah secara keseluruhan maka dia itu zindiq.
Oleh alasannya yakni itu, ia menulis risalahnya alasannya yakni keprihatinannya melihat apa-apa yang menimpa jalan tasawuf. Ia tidak bermaksud menjelek-jelekkan salah seorang dari kelompok tersebut dengan mendasarkan diri pada penyimpangan sebagian penyerunya. Risalahnya itu, menurutnya sekadar pengobat keluhan atas apa yang menimpa tasawuf pada masanya.
Dari uraian di atas, tampak terang bahwa pengembalian arah tasawuf, berdasarkan Al-Qusyairi harus dengan merujuknya pada iktikad Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang dalam ini yakni dengan mengikuti para sufi Sunni periode ketiga dan keempat Hijriyah menyerupai diriwayatkan dalam Ar-Risalah.
Selian dari ketiga hal diatas, Al-Qusyairi juga menawarkan pandangannya kepada beberapa istilah yang ada dalam tasawuf, menyerupai fana’ dan baqa’, wara’, syari’at dan hakikat:
a. Baqa’ dan Fana’
Dalam struktul ahwal, yaitu mengenai fana’ dan baqa’, Al-Qusyairi mengemukakan bahwa fana’ yakni gugurnya sifat-sifat tercela, sedangkan baqa’ yakni jelasnya sifat-sifat terpuji. Barangsiapa fana’ dari sifat-sifat tercela, maka yang tampak yakni sifat-sifat terpuji. Sebalikya, apabila yang mayoritas yakni sifat-sifat tercela maka sifat-sifat terpuji akan tertutupi. Jika seorang individu secara terus-menerus membersihkan diri dengan segala upayanya, maka Allah akan menawarkan anugerah melelui kejernihan perilakunya, bahkan dengan penyempurnaan tingkah laris tersebut.
b. Wara’
Pemikiran Al-Qusyairi yang lain yakni wara’, menurutnya wara’ merupakan perjuangan untuk tidak melaksanakan hal-hal yang bersifat syubhat (sesuatu yang diragukan halal haramnya). Bersikap wara’ yakni suatu pilihan bagi jago tarekat.
c. Syari’at dan Hakikat
Al-Qusyairi membedakan antara syari’at dan hakikat; hakikat itu yakni penyaksian insan perihal rahasia-rahasia ke-Tuhanan dengan mata hatinya. Sedangkan syari’at adalah kepastian aturan dalam ubudiyah, sebagai kewajiban hamba kepada Al-Khaliq. Syari’at ditunjukkan dalam bentuk kaifiyah lahiriah antara insan dengan Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. M. Solihin. MAg, Dr. Rosihon Anwar. M.Ag, Ilmu Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Setia, 2008
Prof. Dr. H. Abu Bakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat. Solo: Ramadani, 1996