Pengertian Dan Jangan Hardik Anak, Kalau Tidak Mau Menyerupai Ini !

- Bentakan mungkin cara paling efektif menciptakan anak membisu seketika kala mereka berbuat nakal. Tapi sebelum membentak, pertimbangkan dulu imbas jangka panjangnya.

Tak sanggup dipungkiri, komunikasi yaitu alat yang paling vital peranannya dalam menentukan arah suatu hubungan, apakah akan berjalan dengan serasi atau malah sebaliknya? Lewat komunikasi yang baik serta pemilihan kata yang sesuai dan intonasi bunyi yang tepat, relasi batin yang akrab antara orangtua dengan anak sanggup semakin tercipta.

Ilustrasi Ibu Membentak Anak

Sayangnya, tidak banyak orangtua yang paham perihal hal ini. Komunikasi pun hanya sekadar dijadikan alat untuk memberikan apa yang diinginkan orangtua kepada sang anak. Bahkan terkadang alasannya kesal dan merasa anak susah diberi pengertian, maka komunikasi dalam bentuk bentakan alhasil dijadikan pilihan. Padahal berdasarkan para pakar, bentakan justru menjadi salah satu bentuk komunikasi dengan anak yang sebisa mungkin harus dihindari.

Anak merupakan amanat Allah SWT. Ia sanggup menjadi anugerah dan tidak sedikit menjadi fitnah baik di dunia dan di darul abadi kelak, mereka sanggup merupakan aset kita dan hal ini akan terwujud bila orangtua dalam merawat, mendidik serta membimbing mereka dengan cara-cara yang telah disyariatkan secara islami. Adapun menjadi fitnah jikalau kita selaku orangtua memperlakukan mereka tidak sesuai dengan tuntunan yang islami pula.

Menurut Pisikolog

Psikolog anak & keluarga, Anna Surti Ariani mengamini hal tersebut. Beliau juga menyampaikan bahwa bentakan memang sanggup kuat jelek pada anak-anak, alasannya sanggup menciptakan ikatan batin antara orangtua dengan anak menjadi renggang.

“Saat usia anak masih di bawah 10 tahun, mereka tidak akan melawan atau balas membentak. Tetapi alasannya sikap pasif mereka itu, orangtua jadi tidak sanggup mengukur seberapa besar dampak psikologis yang sanggup ditimbulkan alasannya membentak,” papar psikolog yang karib disapa Nina ini.

Nina juga menjelaskan bahwa secara medis bunyi yang keras dan bentakan yang keluar dari lisan orangtua sanggup merusak atau menggugurkan sel otak yang sedang tumbuh. Terutama pada masa “golden age” yaitu pada usia 2-3 tahun.

Dampak lanjutan dari bentakan juga kemungkinan sanggup berbekas dan menjadi stress berat yang akan memengaruhi sikap serta sikap anak ketika beranjak dewasa.

Anak yang kerap dibentak dan terkena omelan ketika kecil akan tumbuh menjadi pribadi yang minder, takut mengutarakan pendapat dan selalu merasa bersalah. Disisi lain ada juga kemungkinan anak cenderung pemarah, egois, keras kepala, pembangkang alasannya dibuat oleh kemarahan orangtuanya.

“Anak cenderung akan memalsukan sikap orangtuanya. Seorang anak yang selalu dibentak, diomeli, atau dimarahi, akan tumbuh dengan keyakinan bahwa ia sah-sah saja berkomunikasi dengan memakai bentakan, omelan, atau kemarahan,” lanjut Nina.

Solusi

Lantas, bagaimana caranya memberi peringatan yang sempurna dan efektif ketika anak berbuat bandel ? Nina kembali menekankan untuk menghindari bentakan atau kekerasan fisik sebagai bentuk eksekusi kepada anak.

“Daripada membentak, lebih baik tekankan konsekuensi bukannya ancaman. Anak harus tahu konsekuensi dari setiap tindakan yang ia lakukan. Misalnya bila ia tidak membereskan mainan, maka ia tidak akan menerima camilan atau waktu bermain. Kesepakatan ini harus dilakukan dengan disiplin namun dikomunikasikan dengan santai. Ini juga membentuk tanggung jawab dan kedewasaan dalam diri anak”, jelasnya

Selain itu, ada baiknya orangtua memandang kesalahan anak dari prilakunya bukan pribadinya. Sehingga apabila memberi eksekusi haruslah mengacu pada perbuatannya, bukannya malah mencela anak itu sendiri.

“Celaan lewat kata-kata ‘bodoh’, ‘nakal’, dan lain sebagainya hanya akan menciptakan konsep diri dan harga diri (self esteem) anak menjadi lemah. Sehingga mereka akan memandang dirinya secara negatif dan lupa dengan aneka macam keunggulan yang dimilikinya. Makara jangan sekali-kali katakan kata-kata negatif itu,” tuturnya.

Lebih lanjut Nina mengharapkan, sebagai orang tua, pendidik, ataupun orang yang lebih renta dari anak-anak, sebaiknya menentukan sikap yang lebih kreatif dalam menghadapi tingkah anak yang mungkin kurang baik.

Bijaknya sebelum menciptakan aturan, orangtua juga perlu mempertimbangkan tingkat perkembangan kejiwaan anak. Jangan sekali-kali menyamakan anak dengan orang cukup umur dan jangan pernah memakai orang cukup umur sebagai tolak ukurnya.

Sebelum sobat meninggalkan catatan ini, jikalau merasa artikel ini bermanfaat silahkan dibagaikan kepada teman-teman, saudara/saudari ataupun yang lainnya baik di media umum ataupun secara eksklusif biar semua orang menjadi tahu, pintar, cerdik dan menambah pahala bagi sobat-sobat :-).