Nama Ulama Nu Kh Abbas Djamil Buntet, Mutiara Dari Pesantren Buntet
Seorang ulama besar yang bisa memadukan kitab kuning dan ilmu kanuragan sebagai media usaha membela umat. Setiap usai salat zuhur atau Asa...
https://kajianamalan.blogspot.com/2019/10/nama-ulama-nu-kh-abbas-djamil-buntet.html
Seorang ulama besar yang bisa memadukan kitab kuning dan ilmu kanuragan sebagai media usaha membela umat.
Setiap usai salat zuhur atau Asar, tahun 1920-an, sebuah langgar di langgar Buntet, Cirebon, selalu penuh sesak oleh para tamu. Ada yang tiba dari kawasan sekitar Jawa Barat, Jawa Tengah, bahkan ada yang dari Jawa Timur. Mereka bukan santri yang hendak menuntut ilmu agama, melainkan masyarakat yang hendak mencar ilmu ilmu kesaktian kepada sang guru.
Walaupun namanya sudah sangat populer di seantero pulau jawa, baik alasannya ialah kesaktian maupun kealimannya. Kala itu Kiai Abbas (1879-1946) tetap saja hidup sederhana. Dilanggar beratap genteng itu, ada dua kamar dan ruang terbuka cukup lebar dengan hamparan tikar yang terbuat dari pandan. Di ruang terbuka inilah, semenjak tahun 1920 hingga 1945 kiai Abbas mendapatkan tamu tak henti-hentinya
Kiai Abbas Djamil Buntet ialah putra sulung Kiai Abdul Djamil, yang dilahirkan pada hari Jumat 24 Zulhijah 1300 H atau 1879 M di desa Pekalangan, Cirebon. Sedangkan KH. Abdul Djamil ialah putra KH. Muta’ad, menantu pendiri Pesantren Buntet, yakni mbah Muqayyim, salah seorang Mufti pada masa pemerintahan Sultan Khairuddin I, kesultanan Cirebon.
Masa kecilnya banyak dihabiskan dengan mencar ilmu pada ayahnya sendiri, KH Abdul Djamil. Setelah menguasai dasar-dasar ilmu agama, ia gres pindah ke Pesantren Sukanasari, Pleret, Cirebon, di bawah asuhan Kiai Nasuha. Kemudian pindah lagi ke Pesantren salaf di kawasan Jatisari, Pimpinan Kiai Hasan, masih di jawa Barat, kemudian ia melanjutkan ke sebuah Pesantren yang diasuh oleh Kiai Ubaidah di Tegal, Jawa Tengah.
Setelah aneka macam ilmu keagamaan dikuasai, ia pindah ke Pesantren yang sangat kondang di Jawa Timur, Tebuireng, Jombang, di bawah asuhan Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari, tokoh kharismatik yang kemudian menjadi pendiri NU. Di Pesantren Tebuireng, kematangan dan kepribadian Kiai Abbas mulai terbentuk. Di Pesantren itu ia mulai bertemu dengan para santri lain dan Kiai yang terpandang, menyerupai KH. Wahab Chasbullah (Tokoh dan sekaligus salah seorang arsitek berdirinya NU), KH Abdul Manaf (pendiri pesantren Lirboyo, Kediri).
Abbas Djamil dikenal juga sebagai santri yang gigih dan ulet belajar, walaupun ilmunya sudah sangat dalam, ia tetap berniat memperdalam ilmunya dengan mencar ilmu ke Makkah Al-Mukarramah. Beruntunglah ia bisa mencar ilmu ke sana. Saat itu di Tanah Mekah itu masih ada ulama Jawa populer sebagai guru utamanya, yaitu KH Mahfudz Termas, asal Pacitan Jawa Timur.
Sedangkan rekan santri yang lain ialah KH. Bakir (Yogjakarta), KH Abdillah (Surabaya) dan KH. Wahab Chasbullah (Jombang). Di waktu senggang, Kiai Abbas ditugasi mengajar para Mukimin (orang-orang Indonesia yang tinggal di Mekah). Santrinya antara lain, KH Cholil Balerante (Palimanan), KH Sulaiman Babakan (Ciwaringin).
Sepulang dari Makkah, Kiai Abbas Langsung memimpin Pesantren Buntet dengan penuh kesungguhan. Kiai muda ini, sangat energik, mengajarkan aneka macam khasanah kitab kuning. Namun ia juga tidak lupa memperkaya dengan ilmu keislaman modern yang mulai berkembang ketika itu. Kitab karya ulama Mesir, menyerupai Tafsir Tontowi jauhari dan Fahrurrazi, juga diajarkan di Pesantrennya.
Dengan sikapnya itu, nama Kiai Abbas dikenal di seluruh Jawa, sebagai seorang ulama yang alim dan berpikiran progresif. Namun demikian ia tetap saja rendah hati kepada para santrinya.
Walaupun usianya ketika itu sudah 60 tahun, tubuhnya masih kelihatan gagah dan tegap. Rambutnya yang lurus, dan sebagian sudah mulai memutih, selalu di tutupi peci putih yang dilengkapi serban, menyerupai lazimnya para Kiai. Pada ketika itu, tahun 1939, usaha kemerdekaan sedang menuju puncaknya. Pengajaran ilmu kenuragan dirasa lebih mendesak untuk mendukung kemerdekaan. Maka Kiai Abbas pun mulai merintis perlawanan, dengan mengajarkan aneka macam ilmu kanuragan pada masyarakat luas.
Sudah barang tentu orang-orang yang berguru kepada Kiai Abbas bukan sembarangan atau pesilat pemula, melainkan para pahlawan yang ingin meningkatkan ilmunya. Biasanya tamu yang tiba pribadi di bawa masuk ke dalam kamar pribadinya. Dalam kamar itulah mereka pribadi dicoba kemampuannya dengan melaksanakan duel, sehingga menciptakan suasana gaduh. Baru sehabis diuji kemampuannya, sang Kiai mengijazahkan wirid tertentu sebagai amalan yang diperlukan, sehingga kesaktian dan kekebalan mereka bertambah.
Dengan gerakan itu, Pesantren Buntet dijadikan markas pergerakan kaum Republik, untuk melawan penjajahan. Mulai ketika itu, pesantren Buntet menjadi basis usaha umat Islam melawan penjajah yang tergabung dalam barisan Hisbullah. Di Pesantren Buntet, organisasi ini di ketuai oleh Abbas dan adiknya, KH Anas, serta dibantu ulama lain, menyerupai KH. Murtadlo, KH. Sholeh, dan KH. Mujahid. Karena itu muncul tokoh Hisbullah di zaman pergerakan Nasional yang berasal dari Cirebon, menyerupai KH Hasyim Anwar, dan KH Abdullah Abbas, putra Kiai Abbas.
Ketika melaksanakan perang grilya, tentara Hisbullah memusatkan perhatiannya di kawasan Legok, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Kuningan, dengan front di perbukitan Cimaneungteung, yang terletak di kawasan Walet selatan membentang ke bukit Cihirup, Kecamatan Ciipancur, Kuningan. Daerah tersebut terus dipertahankan hingga terjadinya negosiasi Renville tahun 1947, ketika kemudian pemerintah RI beserta semua tentaranya hijrah ke Yogjakarta pada tahun yang sama.
Semasa perang kemerdekaan, banyak warga pesantren Buntet yang gugur dalam pertempuran. Diantaranya, KH. Mujahid, Kiai Akib, Mawardi, Abdul Jalil, Nawawi, dan lain-lain.
Basis-basis kekuatan laskar yang dibangun oleh Kiai Abbas itu kemudian menjadi pilar penting bagi tercetusnya Revolusi Nofember di Surabaya tahun 1945. kejadian itu terbukti sehabis KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945. Bung Tomo segera tiba berkonsultasi kepada KH. Hasyim Asy’ari guna minta restu dimulainya perlawanan terhadap tentara Inggris. Tetapi KH Hasyim menyarankan biar perlawanan rakyat itu tidak dimulai terlebih dahulu sebelum Kiai Abbas dan laskar andalannya tiba ke Surabaya.
Memang sehabis dipimpin oleh Kiai Abbas dan adiknya KH. Anas, laskar Pesantren Buntet memiliki peranan besar dalam usaha menentang tentara Inggris yang kemudian dikenal dengan kejadian 10 November 1945, atas restu KH. Hasyim Asy’ari. Ia terlibat pribadi dalam pertempuran di Surabaya tersebut. Selanjutnya juga Kiai Abbas mengirimkan para cowok yang tergabung dalam tentara Hisbullah ke aneka macam kawasan pertahanan, untuk melawan penjajah yang hendak menguasai kembali Republik ini, menyerupai ke Jakarta, Bekasi, Cianjur dan lain-lain.
Di mata KH Hasyim Asy’ari, KH. Abbas memang bukan sekedar santri biasa. Dialah santri yang memiliki beberapa kelebihan, baik dalam bidang ilmu beladiri maupun ilmu kedigdayaan. Tidak jarang kiai Abbas diminta pertolongan khusus yang berkaitan dengan keahliannya itu. Hubungan KH. Hasyim dengan Kiai Abbas memang sudah usang terjalin, terlihat ketika pertama kali KH Hasyim mendirikan Pesantren Tebuireng, Kiai sakti dari Cirebon itu banyak menunjukkan perlindungan, terutama dari gangguan para penjahat setempat, yang merasa terusik oleh kehadiran Pesantren Tebuireng sekitar tahun 1900.
Walaupun revolusi November 1945 di Surabaya dimenangkan oleh laskar-laskar pesantren dengan gemilang, hal itu tidak menciptakan mereka terlena. Belanda dengan segala kelicikannya akan selalu mencari celah menikam Republiki ini. Karena itu kiai Abbas selalu mengikuti perkembangan politik, baik di lapangan maupun di meja perundingan.
Di tengah gigihnya perlawanan rakyat terhadap penjajah, misi diplomasi juga dijalankan. Semua tidak terlepas dari perhatian para ulama. Maka betapa kecewanya para pejuang, termasuk para ulama yang memimpin perang itu, ketika perilaku para diplomat kita sangat lemah, banyak menyerah pada harapan Belanda dalam perjanjian Linggarjati pada tahun 1946, yang hasilnya banyak mengecewakan tentara RI.
Mendengar isi perjanjian menyerupai itu, Kiai Abbas sangat terpukul, merasa perjuangannya dikhianati. Ia jatuh sakit, dan hasilnya kiai yang sangat disegani sebagai pemimpin gerilya itu wafat pada Hari Ahad, Subuh, 1 Rabiulawal 1365 atau tahun 1946 M. Beliau dimakamkan di komplek Pesantren Buntet. Mutiara dari Pesantren Buntet itu telah menyumbangkan sesuatu yang sangat berarti bagi nusa dan bangsa.