Hukum Memakan Ikan Yang Memakan Kotoran Manusia
Ikan (Hewan) yang memakan kotoran insan termasuk didalam kategori " Al-Jallalah ". Maksud Al-Jallalah yaitu setiap binatang ya...
https://kajianamalan.blogspot.com/2019/02/hukum-memakan-ikan-yang-memakan-kotoran.html
“Dalam riwayat lain disebutkan: Rasulullah melarang dari memakan jallalah dan susunya.” (HR. Abu Daud : 3785, Tirmidzi: 1823 dan Ibnu Majah: 3189).
“Dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya berkata: Rasulullah melarang dari keledai jinak dan jalalah, menaiki dan memakan dagingnya”(HR Ahmad (2/219) dan dihasankan Al-Hafidz dalam Fathul Bari 9/648).
Al Khottobi menyampaikan bahwa insan telah berbeda pendapat wacana memakan daging dan susu binatang jallalah. Para ulama Syafi’i dan Ahmad bin Hambal menyampaikan bahwa ia dilarang dimakan sehingga dikurung selama beberapa hari yang diberi makan dengan masakan yang suci dan apabila dagingnya sudah baik maka tidak apa-apa untuk dimakan.
Diriwayatkan didalam sebuah hadits bahwa sapi dikurung dan diberi makan dengan masakan yang suci selama 40 hari lalu boleh dimakan dagingnya. Ibnu Umar pernah menyampaikan bahwa ayam dikurung selama tiga hari lalu disembelih.
Sedangkan Ishaq bin Rohuyah menyampaikan tidak problem dagingnya (jallalah) dimakan sehabis dicuci bersih. Al Hasan al Bashri tidak melihat ada problem wacana makan daging jallalah, begitu pula dengan Malik bin Anas. Ibnu Ruslan didalam “Syarh as Sunan” bahwa tidak ada batasan waktu tertentu dalam pengurungan jallalah, sebagian ada yang beropini terhadap onta dan sapi ialah 40 hari sedangkan kambing 7 hari, ayam 3 hari dan inilah pilihannya dalam kitab al Muhadzab wa at Tahrir. (Aunul Ma’bud juz X hal 187)
Para ulama yang memakruhkan dan tidak membolehkan memakan daging jallalah bersepakat membolehkan makan daging tersebut sehabis binatang itu dikurung dalam batas waktu tertentu dan diberi makan dengan masakan yang baik sehingga daging itu menjadi baik kembali. Hal itu dikarenakan yang menjadi alasannya ialah tidak dibolehkannya ialah adanya perubahan pada dagingnya dan dikala alasannya ialah itu hilang dengan dikurung maka binatang itu tidak disebut lagi dengan jallalah.
Adapun apabila binatang itu tidak dikurung terlebih dahulu maka pendapat yang kuat—wallahu a’lam—adalah makruh dimakan dagingnya, makruh pula telur, susu atau menaikinya tanpa memakai ganjal duduk. Pendapat ini dipilih oleh al Khottobi terhadap hadits Ibnu Abbas bahwa Nabi saw melarang dari meminum susu jallalah.” Diriwayatkan oleh Abu Daud dan an Nasai dengan mengatakan,’makruh memakan daging dan susunya demi kebersihan dan kesucian."—Ma’alimus Sunan juz V hal 306. (www.islamweb.net)
Pendapat yang sanggup digunakan untuk menguatkan hal ini ialah apa yang dikatakan oleh Imam Malik bahwa kotoran yang dimakan oleh binatang jallalah tersebut telah berkembang menjadi dagingnya sebagaimana darah yang berkembang menjadi daging. Pernyataan ini seperti menyampaikan bahwa kotoran yang dimakan tersebut tidaklah ada pengaruhnya sama sekali terhadap anyir maupun rasa dari daging binatang tersebut.
Dengan demikian diperbolehkan menjualnya baik sebelum maupun sehabis dikurung dan diberikan masakan yang baik. Akan tetapi menjualnya sehabis dikurung lebih baik daripada sebelum dikurung demi menjaga kebersihan dari dagingnya tersebut.